Rating: | ★★★★ |
Category: | Movies |
Genre: | Documentary |
Directed by Andi Bachtiar Yusuf (Ucup) and this is my love letter to him:
halo ucup,
bagus kok film-mu, bagus banget. sebagai seorang banci mal yg waktu di kineforum pas premiere (?) film-mu pengen nonton tapi dengan begitu banyaknya jakmania yg datang jadi takut entar di dalam bau matahari, gue senang bisa melihat banyak gambar2 yg gak bisa gue liat dengan nongkrong sepanjang hari di coffee bean plasenta. (u know where 2 find me now.) waktu tiba2 film itu berbelok mengikuti mr. dunkin donut rapat pks, sebenernya gue sempet senang sekali, hey, mungkin film ini akan menjadi esei tentang fanatisme itu sendiri daripada ttg the jak per se, karena di saat yg sama wawancara dgn ferry si pelopor the jak ttg sejarah pendirian the jak, embrio-nya sebagai anak2 commandos pelita jaya membuat gue mulai menghitung ada berapa kursi kosong di sekitar gue. (sayang cup, selain gue dan pacar gue, cuma ada dua orang lagi, sepasang bule tua. tapi cup, bisa aja kan mereka robert gardner dan partnernya?) tapi kemudian ini agak tidak berlanjut ya, selain penjelasannya tentang 'eksistensi [jalur motor]' dia yang akan dia pertahankan sekuat tenaga dengan menonjok siapapun yg menyerobotnya, dan sekilas sindiranmu waktu setelah dia berblablabla panjang lebar ttg 'kembali ke jalan menuju akhirat yg benar' kau menangkapnya hampir memukuli orang hanya karena dia mungkin suporter persib (ternyata bukan), kelihatannya film-mu kemudian berubah ingin menjawab pertanyaan yg sebenarnya lebih sederhana walaupun kelihatannya lebih besar dan susah, bagaimana menjadi orang jakarta? beberapa jawaban ferry sebenarnya cukup menarik, terutama tesisnya ttg bagaimana jakarta dipecah2 menjadi ghetto2 yg dibatasi oleh mal dan real estate dan the jak (ie, semua orang jakarta seharusnya) harus berani keluar dari ghetto mereka dan gaul dengan the jak2 lain dari ghetto2 lain dan menciptakan jakarta raya teguh beriman bersatu padu, tapi selebihnya, diwakili dengan baik oleh pedagang sayur itu, gue kira akhirnya hanya berisi argumen klise tentang bagaimana jakarta penuh migran yg tercerabut dari akarnya dan jakartalah sekarang pot baru untuk mereka. dari pertanyaan2 wawancara yg tidak kau hapus aku jadi menduga2 apakah mungkin ini terjadi karena kau begitu ingin membuktikan tesismu sendiri ttg jakarta, beberapa kali pertanyaanmu terdengar terlalu menggiring, dan sekali paling tidak malah berupa jawaban dan diakhiri dengan 'itu menarik banget kan?' yg buat gue adalah cara paling tidak menarik utk mewawancarai seseorang. tentu kau harus memulai sebuah dokumenter dengan skenario yg jelas, tapi tidak harus itu mengandung konklusi yg mutlak tak bisa diubah bukan? gue jadi inget bowling for columbine, film itu hanya ttg kekerasan sampai michael moore mewawancarai marilyn manson terus keliatannya dia sadar, kekerasan itu hanya tameng untuk ketakutan, dan kemudian film itu banting setir jadi ttg ketakutan dan hasilnya menurut gue jadi lebih bagus dan dalam. sementara the jak, seperti dalam komentar gue ttg mr. dunkin pks tadi, seperti melihat a road less travelled ttg fanatisme td, pengen banting setir, tapi terus gak jadi karena takut entar di situ banyak monsternya. salah satu monster itu pastinya fanatisme islam ya, gue membayangkan lu membuat perbandingan bukan hanya antara the jak dan suporter pks tapi juga antara the jak dan fpi, memukuli suporter viking dan menghajar pengikut al-qiyadah, mengintimidasi aparat (funny how ferry orders that police officer around at lebak bulus!) dengan kekuatan massa dan mengintimidasi the rule of law dengan kekuatan massa, etc etc. atau mungkin kau tidak melihat kemungkinan ini?
tapi sekali lagi, terima kasih buat gambar2nya. salah satu hal yg sering mengusik gue adalah histeria massa, baik yg destruktif maupun yg tidak, dan terutama gambar2 dan suara2 para jakmania itu menyanyi sama2 beberapa kali bikin gue merinding dan purely secara visual dan audial itu seperti menjelaskan ke gue bagaimana histeria massa bisa terjadi. (terutama scene terakhir di bawah tribun senayan setelah persija kalah final dan the jak termasuk ferry lepas baju dan menyanyi lagu mereka sampai pecah dan baru berhenti setelah mereka lelah, wow, kebahagiaan purbakala telah dilistrikkan bow, tanpa listrik!) gue gak bisa ngejelasin gimana, tapi gue dapet aja. seperti hampir tahu, no, bisa merasakan sendiri (di ujung2 bulu kuduk), kenikmatannya bagaimana. beberapa kali kelihatannya kameramu diam disitu saja karena kau terpesona dan gue juga jadi ikut terpesona. seperti gue bener2 di situ. lebih daripada kalau menonton dvd konser musik yg selalu sibuk menyorot tangan penonton mengacungkan korek api tapi rasanya begitu dingin (ya iyalah dingin, kan kalau gitu berarti pas lagu balad, mikael!). cewekku berpikir beberapa footage pas tawuran kameranya seperti kelihatan takut sehingga beberapa footage itu buat dia gak layak dipakai, sementara buat gue itu justru membuat gue merasa benar2 di situ karena gue bakal takut juga kalau jadi kamera itu! atau kameranya takut dan dia tidak menutup2i ketakutannya dan gue suka itu. at the risk of sounding like a pretentious dickhead/goenawan mohamad, ini seperti mengusulkan sebuah solusi untuk dilema susan sontag ttg complicity seorang jurnalis yg mengabadikan sebuah kejahatan: mungkin gak papa, gak perlu merasa complicit kalau kau tak berpura2 sdg melakukannya for the benefit of humankind. you're just doing it for you, and i thank you for your honesty.
i remain
thy giddy fanboy,
mikael.
seriously wanna see the movie but hopelessly mindfucked thanks to a weekend at galeri nasional...
ReplyDelete