Thursday, 13 December 2007

get married? get fucked!

Rating:
Category:Movies
Genre: Horror
im just moving all this stuff from dunia-film@yahoogroups.com because i just found out this:

'apalagi ini milis eksklusif. tidak semua orang bisa masuk milis ini.
hanya orang2 yang benar2 terlibat secara langsung dengan dunia perfilman.

jadi, milis ini sangat eksklusif, hanya penulis dan pekerja film yang
bisa masuk. dan karenanya, diperbolehkan untuk tukar menukar no hp,
email tokoh2 perfilman.'

- stern warning from the moderator who shall remain nameless unless i get really vindictive one day beware, Mon Dec 3, 2007 10:06 pm

who would wanna be in da club if da club is a bunch of fucks?

*get married? get fucked!*

betapa banyak orang yg bilang get married itu lucu, lumayan paling tidak
dibandingkan dgn film2 horor yg banyak banget sekarang, bahwa hanung
sudah berhasil menyelamatkan diri dari lobang neraka yg dia gali
sendiri—semua ini sudah sampai pada tahap yg mengkhawatirkan menurut
saya.

terus terang, saya nonton get married dengan harapan nanti bisa menulis
review dengan judul 'get married lucu? get fucked!' tapi dengan lapang
dada saya batalkan rencana saya itu karena ternyata di dalam bioskop
saya sempat beberapa kali tertawa. terutama saat aming berakting, atau
berGERAK lebih tepatnya, dan karena wajah bodyguard binaragawan yg komik
itu.

jadi okelah, get married bisa membuat saya tertawa.

tapi saya tertawa karena apa?

mumu bilang ada semacam keseriusan dalam film itu yg mungkin bisa
dibuatkan filmnya sendiri. keprimitifan bangsa indonesia yg mulia ini
dalam mengatasi perselisihan, bagaimana ternyata tidak ada bedanya
antara kaya dan miskin sama2 primitifnya, pertentangan klasik antara
kompleks v. kampung, sedikit kritik lingkungan, etc.

tapi apakah pantas bilang bahwa get married itu lumayan, lucu, lumayan
lucu, bahkan bagus, hanya karena dia sempat menyindir2 ttg berbagai hal
itu?

nggaklah.

coba ingat misalnya waktu voice over di awal film itu bilang dengan nada
sok dead-pan tentang bagaimana empat sekawan itu waktu kecil bahagia
bisa mandi di kali terus gambar di layar mempertunjukkan empat bocah
cilik berkecibung di sungai berair hitam penuh sampah yg sekilas
kelihatan seperti di pintu air maggarai. banyak penonton ketawa waktu
itu, tapi mereka tertawa pada apa?

dan mungkin yg lebih penting, si pembuat film, hanung, the scriptwriter,
sedang menertawakan apa?

yg jelas joke itu sebuah cheap shot, entah pada pemerintah dki, atau
pada orang2 miskin kampung yang malang, dan karena itu saya tidak
ketawa.

contoh lain misalnya waktu si cowok ganteng kaya itu pertama kali datang
ke rumah nirina dan disambut bapak ibunya dan bahasa si cowok yg tadinya
bersob2 ria berubah menjadi campuran patois puitis dan bahasa birokrat
kelurahan dan si babe tidak mengerti dan mengira pertama rumahnya mau
ditawar, kemudian mungkin si cowok itu lagi cari barang antik, dan semua
penonton tertawa.

hanung ingin menertawakan siapa dan ingin penonton menertawakan apa?

keluguan dan kebodohan orang betawi? atau stereotipe orang betawi yang
seperti itu? yg pertama saya rasa. sekali lagi, a cheap shot.

tapi sudahlah, misalnya sekarang saya tidak usahlah mempermasalahkan
kritik sosial hanung (betapa lame-nya) dalam film ini, dan melihatnya
sebagai cerita sajalah.

yg membuat saya kecewa pertama adalah, dengan ensemble cast seperti itu,
3 cowok pengangguran dan 1 cewek, saya rasa hanung punya kewajiban untuk
memberi tahu saya, atau paling tidak mencari tahu untuk dirinya sendiri,
bagaimana semua karakter itu bereaksi, memikirkan, kemudian mencari
jalan keluar, dari dilema yg dia (hanung) ciptakan.

tapi sekali lagi, semua karakter itu sampai akhir film ya gitu2 aja,
stereotipe anak kampung pengangguran, nongkrong seharian, main gaple,
berantem. apa yg ada di kepala mereka saya tetap nggak tahu. karena
memang nggak pernah diberi tahu.

ada mungkin beberapa clue, seperti mereka semua suka nongkrong di rumah
pohon, trope klasik untuk sebuah peter pan syndrome. anak2 itu tidak mau
beranjak dewasa, karena itu mereka menghabiskan waktu mereka di sana.
okelah. bisa juga. atau waktu scene yg dipaparkan satu2 setiap anak
bilang ragu2 pada ibunya bahwa mereka mungkin ingin menikah dengan
nirina, ini mungkin peluang untuk melihat background setiap karakter
itu, bagaimana mereka berbeda satu sama lain. ya ada perbedaannya, tapi
bentuknya ya stereotipe2 lagi, yg satu ibunya sunda, yg satu islam
banget, yg satu jawir.

sebagai sebuah film, yg punya begitu banyak kemungkinan untuk memberi
tahu kita begitu banyak ttg karakter seseorang, isi kepalanya, hatinya,
lewat bukan hanya kata2 tapi juga gestur, mimik, dan entah apa lagi,
apakah pantas dibilang bagus atau lumayan kalau
sutradara/scriptwriter-nya sendiri, memilih untuk menghiraukan semua
kemungkinan itu?

menonton get married jadi tak ada bedanya dengan membaca berita koran
ttg anak2 muda pengangguran di anyslum, jakarta. tak ada prospek, masa
depan suram (sama aja ya?), main gaple, tawuran. tapi berita di koran
mungkin cuma punya sekolom, jadi masih masih bisa dimaafkanlah
karikatur2 seperti itu (atau tidak?), sementara film ini punya 90 menit.

kadang2 saya berpikir apakah penonton2 yg memaafkan hanung (bukannya
lebaran udah lama lewat ya?) masih belum juga sembuh kekangenannya untuk
melihat semacam potret yg agak realislah dari kenyataan mereka sendiri
sehari2 setelah begitu lama film indonesia tidak ada sama sekali atau
diisi dengan fantasi2 ttg rumah pondok indah dan rumah pondok indah ...
yg berhantu.

tapi tahu apalah juga penonton2 ini ttg kehidupan di rw 13 bawah tol
penjaringan misalnya? jadi saya juga curiga yg diingini penonton2 ini
adalah potret realisme jakarta di kepala mereka sendiri. yg mereka
dapatkan dari karikatur2 koran dan film2 simplistis macam get married
ini. segala macam stereotipe2 tadi. mereka tertawa terbahak2 karena puas
merasa mereka benar.

jadi buat saya tidak ada maaflah buat film2 seperti get married ini. yg
bukan hanya tidak jujur ttg dirinya sendiri (udahlah, comedy might sell
more than horror!), tapi bahkan terlalu malas untuk mencari tahu dirinya
sendiri seperti apa.

saya juga gak setuju dengan mumu yg bilang masa depan film indonesia
suram, karena saya bukan permadi, saya gak tahu masa depan bakal seperti
apa.

kalau masa kininya sih jelas, emang suram.

banget.

mikael.

19 comments:

  1. FYI, get married adalah film paradoksal. Dan paradoksal Get Married itu cerdas.

    ReplyDelete
  2. FMI, u shd explain what u mean by 'paradoksal' first

    ReplyDelete
  3. Suka film2 nya Tarantino tidak kah?

    ReplyDelete
  4. saya ingin tahu apa maksud anda dengan 'paradoksal', itu saja dulu, soal apakah saya suka tarantino, hubungannya dengan apakah dengan begitu saya seharusnya suka atau tidak suka dengan keparadoksalan get married kalau memang ada, dan apakah keparadoksalan itu cerdas atau geblek, itu urusan nanti.

    ReplyDelete
  5. Film nya Tarantino itu adalah film post modern, contoh film paradoksal. Maksud saya tanya suka film Tarantino atau tidak adalah: jika kita suka, maka kita akan bisa menikmati Get Married dengan lebih baik-tanpa harus mengerti apa itu paradoksal. Begitu...

    ReplyDelete
  6. ini penjelasan ta2surya yg lebih detil ttg poin paradoksalnya:

    Paradoksal Get Married, Dec 16, '07 7:58 PM, by Tata for users thetruthaboutjakarta and ta2surya

    Menyambung yang di Review ya.. Habisnya kl di sana tar kepuanjangan, kasian yg laen kl mau baca review jd keganggu... =)
    Dan lagi ini menurut pendapat pribadi dengan modal pengetahuan minim >_<

    Tp fisrt of all, no offense ya! Kita saling share ajah... Okeh?

    Paradoksal itu menurut ku, sama kaya yg ada di pelajaran Bahasa Indonesia jaman SMP dulu.. Majas pertentangan, mau nyampein sesuatu tp lewat kalimat yg kebalikannya. Kebanyakan atau biasanya untuk menyindir, pokoknya nadanya sebenernya sinis deh...umumnya ditampilkan dalam parodi.

    Kita ambil contoh Film Kill Bill. Jika orang tidak mudeng (seperti diriku pada awalnya), pasti akan menganggap Kill Bill itu film sadis, tidak bernilai, tidak mendidik karena isinya balas dendam. Tapi ternyata justru disitu Tarantino sedang mengejek film-film tentang kekejaman. Lihat saja, pada saat tokoh perempuan berguru ke seorang pendekar silat, kita jadi ingat kan sama film-film kungfu jaman dulu yang agak-agak norak. Nah, Tarantino dengan cerdas memadukan itu menjadi bahan olok-olok. terus ketika membunuh penjahatnya di KILL BILL 2, dia masukkan music Koboi era 50an. Itu juga bagian dari olok-olok dia.

    Nah, di get married juga begitu. Kalau kita memahami film Get Married secara klasik, film harus bercerita, dan cerita jangan sampai mudah ditebak penonton. Kita akan kecewa.

    Film get Married adalah sebuah parodi Cinderela tetapi dengan setting kampung kumuh. kalau orang sudah bisa menebak bahwa May bakal kawin sama Rendy, memang sudah sepantasnya, tetapi yang paling penting bukan tebakannya yang tepat, tetapi bagaimana isi dari parodi tersebut. itulah yang membuat Get Married Lucu. Coba bayangkan Cinderella yang miskin, sama kayak May miskin, lalu ada pangeran (randy), lalu ada tikus-tikus sahabat Cinderella (Aming, Ringgo dan desta). Dan semua itu terjadi di kampung kumuh Jakarta. Bukan di sebuah negeri dongeng yang indah. Disitulah paradoksnya. Disitulah lucunya. Menurutku, seorang yang sudah bisa membuat sesuatu menjadi paradoks dia adalah orang yang cerdas. Dan orang itu adalah Musfar Yasin, si penulis skenario (yg meraih penulis skenario terbaik FFI 2007, walaupun bukan lewat film Get Married). Dia melihat negeri jakarta ibarat negeri dongeng, yang mana konotasi negeri dongeng adalah indah. Tapi Musfar bersikap sinis dengan istilah 'Indah', dia masukkan kota Jakarta sebagai kota yang 'Indah'. Indah menurut musfar adalah tempat kumuh, anak-anak muda yang nganggur, polisi yang korup, anak-anak muda gampang emosi hanya gara-gara cinta, orang tua yang sempit pikirannya yang memandang perkawinan sebagai jalan keluar terbaik. Sinis bukan? Itulah GM, film yang sebenarnya sinis dengan Jakarta, Indonesia, Negeri yang konon katanya Gemah Ripah Loh Jinawi, Bhinneka Tunggal Ika, mirip seperti negeri Dongeng Cinderella .... hehehe ...

    tapi emang menurutku juga, Hanung kurang berhasil dlm menampilkan paradoks nya GM si.. krn org pasti melewati tahap bingung dulu untuk mudhengnya. Terhibur si terhibur, mengingat pas ku nonton seisi bioskop ketawa mulu.. tp pas ditanya tau atau ga maksudnya, buyar semua... hihihi... FYI, segera setelah ku nonton Get Married perasaanku kurang lebih sama persis sama yang ada di review Get Married? Get Fucked! ko.. =) trus ngamuk2 dulu...hehehe...

    Yaaa...lepas dr semua itu.. GM bisa dapet 1,1 juta penonton lumayan lah ya? Hanungnya dapet sutradara terbaik pula... =)

    Cheers,
    Tata

    ReplyDelete
  7. Waduh Mas... Ko dishare ke sini...? Malu saiah...

    ReplyDelete
  8. yep u r right abt the (attempted) deconstruction of the cinderella myth etc. yg jd masalah buat saya adalah, seberapa gahar mitos itu dijungkirbalikkan? sinisisme yg anda sebutkan itu memang ada secuil dua cuil di film ini, misalnya yg saya ingat, dan saya sebutkan jg di atas, pas bala tentara randy yg siap tempur tiba2 berubah sesaat jd segerombolan neanderthals. tp kl kita bandingkan dgn sinisisme tarantino di kill bill itu misalnya, ia mgkn sebal dgn (image) kesolipsisan guru2 kung fu macam david carradine, tp dia tidak kemudian memakai aktor yg mirip dgn david carradine kemudian pas dia mulai berblablabla ala yoda cut ke scene dgn david carradine beneran (atau aktor yg ditata rias persis bukan sekedar mirip dgn david carradine), dia pakai saja david carradine utk memainkan tokoh itu. yg kita dpt adalah seperti yg anda bilang permainan posmo yg membuat kita bingung, siapa yg sebenarnya sdg gue tonton, tokoh ini, tokoh david carradine di serial kung fu, david carradine sendiri, parodi david carradine thd dirinya sendiri, atau apa? dan saya tertawa. (tanpa memikirkan ini semua secara sadar, krn menurut saya joke yg bagus ya menyerang ketidaksadaran kita, atau lebih penting lagi, ya langsung membuat kita tertawa.) sedangkan menonton get married saya tidak tertawa dan saya ingin tahu kenapa. setelah dipikir2 justru dekonstruksi yg gampangan itu yg membuat saya tidak tertawa. atau tidak bisa membuat saya tertawa. cut ke segerombolan neanderthals itu misalnya, tidak perlulah. tanpa digituin org juga udh mau tertawa melihat kegeblekan fanatisme mereka membela randy. mereka diserang dgn cheap shot spt itu saya malah jadi gak jadi ketawa. dan buat saya, ini juga menunjukkan ketidak pedulian hanung dan musfar yasin itu kepada karakter2nya. spt sdh sy tulis di review itu, karakter2 itu hanya karikatur2, yg dipakai sekedar utk membangun sinisisme ketebak dan murahan ttg jakarta teguh penuh kemiskinan. dibandingkan dgn kill bill itu lg misalnya, tarantino jg pgn menyindir david carradine/serial kung fu/apotheisme seorang guru/apalah, tapi sindirannya lebih kompleks bukan, apa dia mengejek, atau malah (akhirnya) kagum, atau campuran dari keduanya dan dia sendiri pun tidak tahu yg mana tp dgn berani tidak merasa harus punya sebuah posisi final? jadi kalau get married sinis, ia bagi saya sinis bukan thd jakarta negeri dongeng indah ini, ia justru sinis thd karakter2 di dalamnya yg ia anggap bahkan tidak punya hak utk punya perasaan yg benar2 perasaan (contoh: waktu tiga anak berandalan itu 'terpaksa' harus menikahi mae, ada nggak hal di film itu selain 'mereka sudah tumbuh bersama2 sejak kecil' yg bisa membuat kita percaya bahwa tidak satu pun dr mereka tergoda utk kawin dgn mae, karena seperti mereka semua akui juga, mae is a bit of a babe really, paling tidak di kampung itu), yg jalan pikirannya bisa disimplifikasi sedemikian rupa hanya karena mereka terlalu malas mempertimbangkan kekompleksan manusia (contoh: apakah saya sudah dibuat percaya kalau randy yg begitu muak dgn org indonesia dgn tiba2 akan begitu jatuh cinta dgn keluarga mae tanpa keraguan sedikit pun?). oke, ini sebuah satir yg pasti akan penuh dgn stereotipe, tapi tidak pernahkah musfar yasin baca swift? akhirnya saya dihadapkan pada dua kemungkinan, sinisisme yg luar biasa ini, atau justru semacam sentimentalisme penuh gula yg membayangkan ya jakarta adalah kota bobrok penuh tai tapi sebenarnya sebenarnya! di situ, dgn cinderella ending itu (kenapa endingnya tidak didekonstruksi juga?), ialah negeri dongeng indah yg sebenar2nya! dan kedua kemungkinan itu tidak membuat saya tertawa.

    ReplyDelete
  9. Waduh...waduh... Mas...pending dulu yak! Daripada semakin memperbesar kemaluan saya...=)
    Saya musti semedi dan berguru dulu ni.. Dan sepertinya saya mau berguru ke Mas juga ni.. Secara saya ga bisa gitu nangkep apa yg mas sampaikan, ada istilah2 yg saya ga ngerti juga.. (Hwaaa... ketauan deh kl ku manusia tak berilmu!). Tarantino's saja saya blm khatam..
    Mahap...mahap... gencatan dulu yak kita?! Ya?

    ReplyDelete
  10. loh gak perlu minta mahaplah, apalagi semedi. dan gak perlu malu jugalah, analisa anda menurut saya jauh lebih menarik kok dr banyak review di media2 lain ttg get married (yg menurut gue sama gak dipikirinnya dengan film itu sendiri hehehe), makanya saya post di sini, saya cuma gak setuju aja.

    ReplyDelete
  11. seru dan jadi pengen nonton get married if only to get fucked and to see your point...hahaha...

    ta2surya, analisa kamu menarik (walaupun mike gak setuju). terus terang waktu saya nonton kill bill saya nggak kepikiran sejauh itu (soal paradoksal atau dekonstruksi), saya cuma terkesan dengan parodi film kungfu jaman dulu yang dengan 'semena-mena' dilemparkan tarantino ke hadapan kita, dan elemen anime yang dipakai di film itu..

    ReplyDelete
  12. Nah..selayaknya kl tidak setuju, jangan dipaparkan ke khalayak... Yasudzlah...
    Tapi teuteup..saya harus semedi dan merenung... Kita lanjutkan setelah saya nonton Get Married lagi, yg mana harus nunggu VCD/DVD nya beredar (2 bulanan lagi kali ya?). Soalnya saya sudah mulai lupa kaya apa film itu... >_<

    ReplyDelete
  13. Saya juga ko... Malah dulunya ga mau nonton Kill Bill.. Tp ada yg nyaranin, untuk bisa mudheng Get Married nonton Tarantino's dulu, nontonlah saiah... Hehehe...
    Salam kenal,
    Tata

    ReplyDelete
  14. Saya juga ko... Malah dulunya ga mau nonton Kill Bill.. Tp ada yg nyaranin, untuk bisa mudheng Get Married nonton Tarantino's dulu, nontonlah saiah... Hehehe...
    Salam kenal,
    Tata

    ReplyDelete
  15. kalau anda memang2 benar2 keberatan, nanti saya hapus. tapi ijinkanlah saya memohon supaya anda tak usah keberatan. please. karena menurut saya analisa anda itu sangat menarik dan analisa menarik sangat diperlukan buat film2 kita drpd susi ivvaty, evieta fadjar p. dan leila s. chudori. itu karenanya saya paparkan ke khalayak, bukan karena saya tidak setuju.

    ReplyDelete
  16. Ummmhhh... Baiklah..
    Ku cuma takut ada yg ga setuju lagi, trus 'membantai' lagi... blm siap mental saiah untuk rebattle.. "diskusi' kita aja masih saya pending to? Tunggu semedi selesai... Hehehe...
    (padahal ni baru lewat media tulis, gmn kl diskusi live yak? gagap kambuh deh... >_<).
    Tapi gapapa, itung2 belajar kuat.
    Thanks ya...

    ReplyDelete