Tuesday 27 March 2007

JAKARTA OVERSLUT






 



20.30. Di
film-film Usmar Ismail orang menyebutnya Metropole. Membeli tiket seringgit dari
calo pelit di ujung tangga. Yang sekarang bertegel merah bata.



 



Karcis kertas
minyak kuning tanpa judul. Nomor kursi ditulis tangan, hampir tak terbaca.



 



Pintu teater 6
telah dibuka. Masuklah kami ke teater 4.



 



Rol film terbakar
di layar. Lihat lantainya, bagaimana bisa sekotor itu? Bau popcorn seperti
kopet, minyak rambut di sandaran kepala, sabun Lux.



 



Bagaimana? Aku
cukup suka. Aku juga. Ceritanya bagus. Ya.



 



Mohon Maaf
Gangguan Tehnik.



 



So they’re gay,
right? The whole lot of ‘em. Anul Ayam’s got bruises on her arms. I hope
they’re real.



 



Hehe. This is
just an ordinary night at Heaven.



 



Mohon Maaf
Gangguan Tehnik.



 



Kenapa harus ada
ular itu? Iiik. Mungkin a symbol of evil. Penari ular? Ya ya. Itu lebih tepat.
Aku tak berpikir sampai ke situ.



 



Dan dia
mendongeng Timun Mas memakai rekaman suaranya di tape recorder kecil buat kuli
tinta. Simbol alienasi dengan anaknya? Bukan, itu adiknya. Kau tahu dari mana?
Cerita Timun Mas itu bagaimana?



 



Kameranya dingin
ya? Seperti tak peduli waktu perempuan itu tegang gelisah di bangku belakang
taksi. Kenapa harus selalu Taxicab? Supir mereka tak pernah punya kembalian.
Supaya kau tak perlu membedakannya dengan New York. Jualan festival.



 



Mohon Maaf
Gangguan Tehnik.



 



Hu. Huuuuu.



 



Hahaha. Kau suka
ya nonton di sini. Ada rasa kekeluargaan di antara kita. Seperti kau bilang,
orang-orang di sini lain. Tidak, aku bilang aneh.



 



Ini adalah
ide-ide yang meledak keluar di kamar-kamar hotel melati di Pusan, Tribeca, off
off off Broadway. Living an action-packed life does make you cleverer.



 



Ini sih sama
sekali tak mirip dengan bukunya. Ya. Untung.



 



Dari membuat film
tentang tempat ini kau jadi lebih tahu tentang tempat ini?



 



Kejar-kejaran ini
sudah terlalu lama. Ya. Aku sudah lupa kenapa. Kenapa tak ke polisi saja?
Kenapa mereka harus selalu lari ke tempat yang sepi tak ada siapa-siapa? Aku
akan lari ke mal. Plasenta. Foodcourt lantai tiga.



 



Alasan untuk
gambar-gambar indah tentang tempat ini saja.



 



Ya: “Bayang pecah
di kubangan / tiang jatuh bertumbangan”



Atau: “Bagaimana
mereka bisa ketemu tempat untuk bikin homage Vertigo itu?



 



Dia bilang apa
tadi? Di kota ini apa? Di kota ini tidak ada yang benar-benar menang atau
benar-benar kalah. Oh.



 



Pada akhirnya
mereka semua hanya ingin ngomong sesuatu tentang tempat ini ya. Itu kenapa
mereka sering lupa dengan manusia-manusia di dalamnya.



 



That’s what I
liked about Ekskul. It was just about that boy. That’s why I cried. So did I.



 



Yeh. I don’t
remember the dialogues in Eliana-Eliana. Something about going back to Padang? At
least that one didn’t try t’put too much action in. Or any.



 



Hasn’t been that
many thrillers recently, though. Crime-y ones like this. Mendadak Dangdut was a
comedy. A lot of running in that one too.



 



But when she said
that, no one really wins or loses in this city, how did that happen? Tak ada
yang membawamu ke situ ya. No! Nothing, See, the whole thing is just about this
place really. These characters are forgotten toy soldiers.



 



Lest we. Haha.



 



You know I wonder
if this story is set anywhere else, am I gonna be even half as interested?



 



They just HAD to
put that last line in didn’t they?



 



“Tidak ada yang
benar-benar menang atau kalah.” Blah. It’s so, didactic. People lose all the
time. People get pushed over. People suffer and die.



 



It’s so syrupy.



 



Sentimentil.



 



Maybe it’s
ironic. Her transvestite friends all died. 



 



I’m just jealous.



 



Did you see that
pregnant girl next to me barfing into her popcorn box?