Wednesday 26 September 2007

Catatan Pinggir Minggu Depan

Merleau-Ponty Rorty Hegel Heidegger Benjamin Paz Bespaloff Weil Kadare Pamuk Condorcet Le Brun Corot Seurat Sitor Chairil Balzac Sebald Havel Rumi Eagleton Brecht Chekhov Mayakovsky Yevtushenko Che Borges Vargas-Llosa Popper Wittgenstein Plotinus Pythagoras Monet Manet Renoir Cocteau Cousteau Plato Cavavy Homer Euripides Aeschylus Balzac Gide Bordieu Antonioni Bergman Eisenstein Wenders Picasso Gericault Kant Wagner Dilthey Singer Gao Xinjiang Russell Whitehead Keynes Ha Jin Chen Tien-Wen Brook Paglia Kristeva Fellini Schopenhauer Nietszche Dario Fuentes Gelman Cortazar Neruda Achebe Mahfouz Walcott Coetzee Gordimer Adorno Arendt Feuerbach Gadamer Habermas How Could I Forget Husserl Kierkegaard Hamsun Lukascs Schiller Rammstein Kiarostami Erice Bakhtin Ibnu Arabi Eco Levi Satrapi Nagel Nussbaum Strauss Bazin Mallarme Rimbaud Apollinaire Queneau Grass Naipaul Andangjaja Valery Sastrowardojo Dante Botticelli Genet Beckett Ibsen Ionesco Jelinek Racine Soyinka Zweig

Thursday 13 September 2007

what if like

what if, like, someone stole your words?

-

don't know, i guess i'll be

-

i am

lost for words

Wednesday 12 September 2007

seharusnya ini posting hari minggu tapi kemarin atau minggu depan atau depannya lagi gue kira gak gitu ngaruh juga

CatatanNya akan terbit besok. Di halaman yang sama sejak Dia berumur 30-an. Dengan gaya yang kira-kira sama sejak Dia berumur 18-an. Menjadi sebuah permainan untuk menebak-nebak Dia menulis apa minggu ini. Wibisana? Plotinus? Kadare? Atau sebuah meditasi tentang onta dan kebahagiaan? Entahlah, sama sulitnya menebak isi kepalaNya yang sudah lama hanya mulai membotak itu dengan mengira-ngira apa yang dipikirkan Parikesit waktu sekali lagi tombaknya mental dari dada Jakasombo.

Aku kira Dia akan menulis sesuatu yang agak ringan minggu ini. Karena minggu kemarin Dia menulis tentang Sang Fundamentalis. Seorang evangelis Amerika. Heavy stuff. Messiah, Armageddon, liberalisme, sekularisme, Al-Qaidah, Ku Klux Klan, Jemaah Islamiyah, kubur, surga sejarah. God help us.

Sebelum itu tulisan terburu-buru tentang mall baru yang penuh hot pants itu.

Biasanya Dia akan menulis tentang sesuatu yang terjadi pekan sebelumnya (Falwell meninggal) atau buku yang baru dibacaNya, atau lebih jarang, sesuatu yang terjadi padaNya. Jadilah ketergesa-gesaan esei mall itu.

Mungkin sudah setahun ini dia lebih marah daripada biasanya. Atau paling tidak aku jadi teringat fotoNya entah di mana, bersinglet dengan rambut berminyak acak-acakan, di depan mesin tik di kantor majalahNya yang lama. Jendela terbuka di belakangNya. Sebuah sore di Senen. Bukan lagi Dia rapi dengan dan turtleneck di tepi sebuah danau. Danube.  

Sesuatu telah berubah dalam dirinya.

Mungkin itu dimulai dengan sajak-sajak aneh yang dimuat di Kompas Minggu dua tahunan lalu. Sajak-sajak kasar yang sengaja tidak mau berbunyi manis seperti biasanya. Hanya penuh dengan tank, bom, meriam yang tak lagi meledak dalam cuaca. Hanya serentetan mesin pembunuh manusia.

Setelah itu Dia mulai memakai kata Ajal, dengan A kapital, di sajak-sajakNya setahun kemudian, yang menurutku, seratus tahun yang akan datang, akan dianggap sebagai mahakaryaNya. Atau mungkin juga sebagai satu lagi contoh  karya-karya menjelang ajal seorang seniman besar, yang mencoba membunuh dirinya sendiri sebelum benar-benar mati.

“ada nama yang mati / namaku yang mati”

Supaya Ia kekal, abadi.


Tuesday 11 September 2007

sore aku pergi ke tuk ketemu nirwan satu menyapa nirwan dua cipika-cipiki sama ayu dikenalkan pada gm dipandang dengan tatapan aneh oleh nukila bertanya pada hasif apa bahasa indonesianya upload 'unggah' katanya ada sitok juga di situ tapi aku eneg melihat cengdemnya kemudian malamnya pulang dan menulis email buat richard oh yang kujuduli 'fuk tuk' begini bunyinya:

i think what i hated most about that night was how humorless the whole thing was. i mean when you think about tuk, you expect humorless but what i didn't expect, and what i was so disappointed about, was that i think there were only three people there who had read the book: the speaker (bambang sugiharto, his blurb is on the back cover, he's like a philosophy lecturer from the u of parahyangan, gm (or maybe laksmi just read him the book as bedtime stories) and me.

then the first thing that bambang, phd, said was how 'memang jarang ya kita bertemu dengan seorang esais indonesia yang bacaannya begitu luas, gayanya begitu stylish dan begitu erudit' (he really did say erudit). i mean, the other thing that gm said to me re: my review of ellipsis was how 'kritik sastra indonesia itu ya masih berkisar di situ2 aja, ttg orangnya'. well what about what that bambang dude said? could you get more ad hominem than that? if i had her money my bacaan would be luas too, i mean i hadn't read the weil&bespaloff book just because i couldn't afford it. i'd read the review in the guardian sometime ago, but my credit card's maxed out way before that.

and then gm's first comment was 'saya kira buku ini sangat berharga karena memperkenalkan kita pada bespaloff,' and then he went on and on ad nauseam about who she was and who weil was bla bla bla, nothing that you can't google, so that people forget that laksmi did not introduce bespaloff to us, it's the new york review of books who repackaged the two essays in the one book that did it.

when gm was in the middle of his hagiography of bespaloff&weil, catatan pinggir style, it struck me: he's (or thinks he is) socrates. the sad thing was there was no budding plato in the crowd. you know, he probably thinks that it's his duty to educate these people, the way he would give a short history of pompeii in his catatan pinggir, and that's noble and all that, but like, hasn't he heard of wikipedia?

i asked him outside about what he meant when he said that my review of ellipsis was just another example of 'gitu2 aja kritik sastra indonesia, selalu ttg orangnya' and he said that me mentioning the fact that laksmi used to write the good food guide was beside the point, and that what i said about her love motel poems were an unwarranted personal attack.

so i explained blablabla that my point in mentioning the good food guide, apart from not wanting to miss out on telling the joke about the oasis foie gras, was how i seriously think that her habit of writing about the ambience (pronounce it a la francaise of course) of a restaurant helps her, and is a good influence, when she writes her travelogue lyrics (lyrical travelogues?). and that my point about the love motels was the simple matter of why did she use 'love motel' instead of say, 'check-in', the indonesian idiom. not because i think she'd be better off using the indonesian idiom, i just want to know why she chose 'love motel' over anything else. (in my review i also mentioned the possibility of 'fuck motel'.)

anyway, the point was that i was just reiterating what was already on the page,  there in my review/essay/whatever. though i must admit, gm was actually quite prepared to listen to me and then changed (or appeared to anyway) his stance once i was done explaining. he nodded his head and said now i know what you mean. still though, that means he either didn't read my review properly, or didn't understand it, or something was stopping him from seeing what i was trying to say (perhaps laksmi's pendulous breasts).

and he sort of sounded kinda mean. his praises (for the bits in my essay that he liked) sounded genuine, even supportive and encouraging, but his protests were like, really angry. like a child throwing a tantie.

i'm sick of talking about that review. but i guess there's still another thing i want to say, at least when i wrote it i kept my attention on the pages of her book, the words she'd tried hard to turn into magic, and her record as a writer, unlike the people in that back-breaking theatre (why don't they just have chairs, instead of levels, is that not socratic enough?), who'd crap on and on about heidegger whenever they had the chance. (and even when they didn't.)

mikael.

Dreamstorming for my first novel

I'm in my room all dressed up.

I'm choosing what t-shirt to wear.

I can't decide what t-shirt to wear.

I keep glancing at a pile of manuscript next to my laptop.

I keep flicking through the manuscript.

The manuscript's thick.

The manuscript's thin.

I read the title on the manuscript: it's not mine.

There's no title on the manuscript.

Friday 7 September 2007

Opera Jawir (Pembacaan Terlalu Dekat)

Rating:★★
Category:Movies
Genre: Cult
DRAMATIS PERSONAE

Siti: penari, muda, 20-an, Miss Indonesia material
Suami Siti: saudagar, perajin gerabah, 40-an awal, kolektor topeng
Mas-mas Gondrong #1: penari, murid salsa Vena Melinda, tato motif Transformers mengelilingi udel
Mas-mas Botak: PA Siti, Hindu (kelihatannya, karena bawa sesajen terus), jelas banci walaupun tak pernah secara eksplisit ditunjukkan
Satria Ber-ukulele aka Slamet Gundono sebagai Dirinya Sendiri: trubadour obese bertopi Marlboro, Anna Nicole Smith would've killed for those tits!
Ibu: ibu Mas-mas Gondrong #1, guru tari, Katolik, pintar menyulam
Mas-mas Gondrong (Gerombolan): preman, preman pasar, breakdancers

ACT I

Siti menikah dengan Suami. Diramal di tengah alun-alun oleh Slamet Gundono dan ukulelenya, pakai medium hati babi. 'Inilah cerita Rama dan Sinta,' katanya. Jadi Siti = Sinta di cerita Ramayana, Suami = Rama, Mas-mas Botak = Lesmana. Means nothing to non-Javanese.

Rama pergi menjual gerabah naik gerobak warna-warni ditarik sapi. Pesan kepada Lesmana, 'Jaga istriku.' Lesmana manggut-manggut bertanya dalam hati, kenapa dia menyanyikan semua ini? Di cerita Ramayana asli, Rama diminta Sinta memburu rusa yang cantik sekali (umpan Rahwana aka Dasamuka, raksasa bermuka sepuluh—musuh Rama, yang bernafsu merebut Sinta), jadi di Opera Jawa uang=rusa, dan Rama mengejarnya atas kemauan sendiri.

Cut to: Siti keluar dari bilik tempat tidur di sebuah rumah spartan bergaya Jawa dengan muka ketakutan, dikejar barongsai berbadan selimut batik dan berkepala topi bambu (lebih mirip tikus raksasa), kepala naga/tikus sempat melompat ke tiang dan bertengger di situ kira-kira lima detik disangga kaki-kaki yang lain. Seperti di film-film silat tapi tanpa special effects. Siti mengambil topi bambu/kepala naga/tikus tadi kemudian mendekapnya, memandang ke dalamnya lama-lama, kemudian memakainya untuk menutupi sepiring gado-gado dengan kerupuk merah.

Sejauh ini, kelihatannya barongsai tadi=sesuatu yang mengejar-ngejar Siti (ya iyalah, kan memang mengejar dia), tapi maksudku, sesuatu yang metafisikal, dia kelihatannya ingin menjadi bagian dari barongsai itu, ingin memasang topi itu di kepalanya sendiri.

Waktu Siti sendiri di rumah dia mengimprovisasi sebuah suite contemporary dance sebentar (karena Miss Indonesia sebenarnya tidak bisa nari), menempelkan topi di dadanya seperti susu, di mukanya seperti topeng, sementara PA-nya menutupi semua jendela dan pintu di latar belakang.

Agak lebih jelas sekarang, Siti kelihatannya dikurung di rumahnya sendiri, merpati di sangkar gerabah, tapi belum begitu jelas kenapa. Sampai seorang bapak tua datang dan menembangkan undangan supaya Siti MENARI LAGI. Setelah menghidangkan teh di cangkir porselen dan baki besi, PA berjalan melintasi kamera dan berhenti menutupi setengah layar, mendengarkan tawaran bapak tua. Timbul konflik batin dalam dirinya, sebagai the token banci di film ini tentu dia senang menari dan ingin Siti menerima tawaran itu, tapi dia sudah berjanji akan mematuhi pesan Rama untuk menjaga istrinya, yang tentu tanpa diucapkan sebagai orang Jawa dia tahu, itu termasuk mecegahnya menari lagi.

Cut to: Ibu menari dan menembang di antara orang-orang yang menyetrika dan menjahit pakaian (laundry? karena ini di Jawa, 5 a jour? a semaine? windu?) tentang bagaimana tubuhmu adalah jiwamu dan menari adalah hidupmu.

PA menenteng sesajen dan dupa sambil menari (gaya Hindu-Bali) berjalan keluar rumah diikuti Siti. Menuju ke pusat lingkaran labirin yang dibuat dari sabut kelapa. Siti ditinggal di situ. Tiba-tiba muncul segerombolan topi raksasa yang digerakkan penari-penari yang bersembunyi di bawahnya. Mereka kelihatan dan bergerak seperti tikus. Menuju pusat labirin. Siti menggebuk mereka dengan sampurnya (dia sudah mulai menari lagi!), tapi sia-sia, akhirnya salah seorang dari tikus/topi raksasa itu berhasil menjerat Siti di bawah topi/simbol tikus/kejahatan/spirit of the dance-nya.

ACT II

Rama kembali dan gerobaknya masih penuh dengan gerabah. Di pasar Gerombolan Mas-mas Gondrong menyerbu kios daging, memecahkan kaca dan mengambil daging yang bergelantungan di etalase.

Cut to Mas-mas Gondrong #1 muncul dari balik tubuh sapi yang sudah dikuliti, menggantung di rumah jagal, kemudian menari di lantai yang merah tersemir darah, dipenuhi topeng dan lilin-lilin besar berwarna merah (aromatherapy untuk menyamarkan bau darah?), diakhiri dengan menimang kepala sapi yang digeletakkan di antara topeng dan lilin-lilin itu. Meraup darah kental dari pangkal lehernya. No animals were harmed during the making of, etc.

Cut to Siti tidur dengan Rama di tempat tidur besi bertiang kelambu tapi tanpa kelambu. Tidak ada apa-apa lagi di kamar itu selain lemari tua dengan cermin oval di salah satu daun pintunya. Classic shot dari atas mereka. Siti merangkul Rama. Rama menepis tangannya. Siti membuka t-shirt Rama, mencoba mencium putingnya, Rama menarik t-shirtnya (warna merah, sama dengan warna baju Siti) sampai menutupi kepalanya, seperti topeng. Berdiri di tempat tidur dan menari (contemporary style) dengan jari-jari yang bergerak seperti kaki tikus. Siti berusaha menangkapnya. Rama menolak, melawan, menghindar. Bayangan mereka terlihat di cermin oval di daun pintu lemari tadi.

Rama turun dari tempat tidur. Siti menangis dalam tembang, sesuatu seperti, 'Api (merah, tentunya) telah padam dari hidup kita, sekarang kita hanya binatang, bukan lagi manusia' (hanya pakaian/topeng kita saja yang masih penuh api/berwarna merah).

Datanglah Mas-mas Gondrong #1! Ia melenggok masuk ke bawah kulot oversized Siti, kepalanya yang dibalut kulot meliuk-liuk di selangkangan gadis yang lagi horny ini, tangan Siti menuntunnya ke titik-titik yang tepat.

Rama berbalik badan, dan bergabung dalam menage a trois bisu ini. Mas-mas Gondrong keluar dari kulot Siti dan mulai menciumi kakinya. Ketiganya naik ke kasur dan bercinta secara simbolis dalam gerakan-gerakan akrobatik yang akan membuat hati penulis Kamasutra mendidih karena iri.

Dalam Ramayana, Rama menolak untuk bercinta lagi dengan Sinta setelah menyelamatkannya dari tangan Rahwana karena dia curiga untuk menyelamatkan nyawanya mungkin Sinta telah membiarkan dirinya dijamah Rahwana. Di sini dia tadi menolak bercinta karena kelihatannya stres karena gerabahnya tidak laku (mungkin karena krisis ekonomi, dus gerombolan pencuri daging), mungkin dia jadi impoten!, kemudian baru bergairah lagi setelah melihat cunillingus istrinya dengan seorang mas-mas gondrong yang lebih muda, rambut masih panjang tergerai lepas, perut six-pack bertato. Pertanyaan untuk para ilmuwan queer: apakah Rama bisa ngaceng lagi setelah melihat adegan cunnilingus itu, melihat istrinya begitu terangsang, atau melihat mas-mas gondrong (brondong?) yang begitu menawan itu?

Bayangan mereka berakrobat ranjang terlihat di cermin oval di daun pintu tadi.

Exit Mas-mas Brondong #1/Rahwana. Rama turun dari ranjang juga, bergerak/menari seperti tikus keluar pintu, di luar hujan, membiarkan dirinya kuyup. Too hot, baby! Too hot!

Cut to Siti di sebuh gazebo malam-malam dikelilingi lilin aromatherapy. Rahwana datang kemudian mengajaknya menari/bercinta. Tangannya bergerak-gerak terus seperti kaki tikus menuju selangkangan Siti. Siti mau, tapi malu-malu. Siti memepet Rahwana ke dinding gazebo yang berukiran naga dan ular kitsch warna-warni, matanya antara super mupeng dan jijik (kepada dirinya sendiri? Tentu). Foreplay yang berkepanjangan. Siti menembang, 'Selingkuh, selingkuh.' No climax. Selama itu mereka diintai oleh Mas-mas Gondrong generik yang bergerak/berbreakdance seperti kera (Hanoman?), dan hanya terlihat bayangannya.

Cut to Rama termenung di pendopo rumahnya, menembang tentang baru saja menjual sapinya, dan bagaimana sebagai kepala keluarga yang baik dia harus mencari uang bagaimanapun caranya, mungkin dia harus kembali mengolah tanah (='lemah'='siti' dalam bahasa Jawa. Bukankah selama ini dia juga mengolah tanah, menjadi gerabah? Apakah berarti selama ini dia terlalu sibuk menggarap tanah menjadi gerabah, DAN LUPA MENGGARAP TANAH YANG SEHARUSNYA PALING PENTING BUATNYA, Siti(='lemah'=tanah)!? Pastinya.

Kemudian vinyet Rama menari solo mencobai berbagai macam topeng: topeng cewek berambut kepang panjang dua, topeng pincuk daun pembungkus jajanan, topeng yang mula-mula terlihat seperti hanya sepotong kayu, baru kemudian setelah ia memutar kepalanya ke arah kamera kelihatan ternyata adalah topeng yang sedang ia buat sendiri dan baru setengah jadi. Ia mencoba berbagai macam topeng(=kepribadian=role) baru untuk keluar dari musibah yang menimpanya (dagangan tak laku, istri selingkuh, Viagra belum tersedia di Jebres). Topeng cewek? Satu pertanyaan lagi buat Mumu.

Cut to workshop gerabah Rama. Siti duduk berlumuran lumpur di meja putarnya. Rama berulang-ulang mengguyur Siti dengan lumpur cair memakai gayung dari batok kelapa bergagang panjang. Siti menembang, 'Aku bukan tanah yang bisa kaubentuk seenakmu. Aku manusia.' (Something like that.) Mulutnya tidak terlihat bergerak, atau lip-syncnya kurang synced. Badannya sama-sekali bergeming. SITI BENAR-BENAR TERLIHAT SEPERTI PATUNG. Rama semakin giat/bernafsu mengguyur Siti dengan lumpur. Rama terlihat terangsang, Berusaha memeluk Siti. Siti masih bergeming. Keduanya jatuh tertelungkup berlumuran lumpur di meja putar itu. Take that Patrick and Demi!

ACT III

Rahwana mengadu kepada Ibunya bahwa dia hanya berhasil menaklukkan Siti tapi tidak berhasil mendapatkan cintanya. Ia hanya ingin kembali saja ke rahim ibunya. Berbaring dalam posisi foetal dengan kepala di selangkangan Ibu/Retno Maruti. ibu menjawab, 'Aku akan membantu.'

Ibu menyulam selimut merah. Ternyata selimut itu panjang sekali, menjulur ke luar rumah, lewat pematang sawah, candi, kali, jalan setapak, kebun bunga plastik, menuju: Siti.

Siti mengikuti selimut merah itu (di awal film, Retno Maruti menembang, 'Ayunkan sampur selebar selimut'–inilah sampur/selimut itu!) naik sepeda Phoenix warna biru. (Phoenix=Siti rising from the ashes, bangkit dari kubur pernikahan/larangan menarinya.) Rahwana menunggu di kebun bunga, kemudian di pendopo rumahnya, layaknya pengantin. Siti berbaring di selimut/sampur raksasa itu, Rahwana berdiri mengangkanginya. Membelai muka Siti dengan jempol kakinya. Siti menepisnya. Lari keluar. Rahwana berusaha mengejar, tapi terjerat sampur/selimut raksasa merahnya sendiri yang tersangkut di tiang-tiang pendopo rumahnya (disangkutkan oleh penari-penari beksanya yang tadi mengiringi. Penari-penari beksa itu=whothefuckknows.)

Siti di rumah membuka kotak (Pandora!) berisi kostum tarinya. Memakainya, lenngkap dengan cundhuk mentul. Berlari keluar rumah, menembang, 'Laki-laki berdada bidang, tapi tidak punya payudara yang bisa menghidupi bumi.'

Cut to rumah jagal tempat Rahwana pertama kali muncul tadi. Penuh dengan patung-patung manusia berkepala lilin merah karya Agus Suwage yang menggelantung dari langit-langit. Lilin meleleh (sumbunya di atas kepala) lewat muka, terlihat seperti air mata. Menetes seperti darah ke ujung jempol kaki.

Siti menari dengan kostum lengkapnya di bawah kain kuning berbentuk gunungan di Parangtritis. Rama bergabung. Memeluknya. Ikut menari. Mencabut cundhuk mentul Siti satu persatu. Menggenggam mereka di satu tangan. Menusukkan mereka ke punggung Siti. Suara angin pantai tiba-tiba hilang, hanya suara cundhuk mentul menembus punggung Siti yang terdengar, kemudian suara Rama berkali-kali menusuk perut Siti dengan cundhuk mentul tadi. Jreb. Jreb. Rama mengambil hari Siti (literally!), menimangnya di tangan, menembang, 'Oh, inilah kau hati yang dari dulu kucari. Hanya bongkahan daging warna merah.'

Rama pergi. Rumput baru tumbuh di pasir hitam tempat Siti berbaring mati tadi.

Siti menolak cinta Rahwana, melanggar larangan Rama untuk menari, menemukan dirinya sendiri. Dia tidak pernah perlu memakai topeng. Karena dia (akhirnya) mengikuti kata hatinya (hatinya sendiri, bukan hati babi, atau hati orang lain yang ia cabut dari perut). Dan ini membawanya ke kematiannya sendiri. Tapi rumput tumbuh di tempat dia mati. Dia, perempuan berpayudara (sebelum menusuknya dengan cundhuk mentul Rama menyanyi dia 'rindu menyusup payudaramu') dan yang mengikuti kata hatinya itu, benar-benar mampu menghidupi bumi!

PA Siti (yang tadi waktu Siti bersepeda mengikuti sampur raksasa berusaha menghalangi, jatuh ke tanah, kemudian menembang dengan suara cempreng untuk pertama kalinya dan terakhir, 'Aku sudah menunaikan tugasku.' (Typical Lesmana dan Lesmana-type characters.) menempatkan sesajen di kaki candi di atas batu volkanik yang diukir jadi TV Polytron 14 inci. Suara pembawa berita: 'Rama (actually, I think his name is Setyo) ditangkap kemarin sore setelah membunuh istrinya dan mengambil hatinya. Waktu ditangkap, tersangka sempat berteriak, "Cinta (atau kebenaran?) hanya bisa ditemukan dalam hati."'

Kemudian aku lupa bagaimana tapi film ini diakhiri dengan adegan perang di Parangtritis yang mengingatkanku akan adegan perang kolosal di Saur Sepuh: Satria Madangkara, dan bayangan wayang Rama bertempur melawan Rahwana in the foreground. Rama menang. Rahwana muncul lagi. Rama kalah. Exit Rama. Rahwana diam di layar.

Exeunt Omnes.







Wednesday 5 September 2007

Oh Brother

If only you knew how much I wanted you to feel the same thing I felt when I went to the bar at the old Hotel Sabang Metropolitan one ngentot ngentot ngentot ngentot took me a full fucking twenty minutes enough to download 30 seconds of amateur Korean porn to fucking change the ribbon on this fucking brother machine.

Some brother.

Ngentot.

Goddamn fucking ngentot.

I've written more things way more on computers than on typewriters but I've never stopped thinking that my best work is still lying before me and I will do it better, it will be best, only if I write it, if I start regularly write on the heavy keys of this brother M 1760 TR and less on the soft keyboards of my iBook.