Wednesday 12 September 2007

seharusnya ini posting hari minggu tapi kemarin atau minggu depan atau depannya lagi gue kira gak gitu ngaruh juga

CatatanNya akan terbit besok. Di halaman yang sama sejak Dia berumur 30-an. Dengan gaya yang kira-kira sama sejak Dia berumur 18-an. Menjadi sebuah permainan untuk menebak-nebak Dia menulis apa minggu ini. Wibisana? Plotinus? Kadare? Atau sebuah meditasi tentang onta dan kebahagiaan? Entahlah, sama sulitnya menebak isi kepalaNya yang sudah lama hanya mulai membotak itu dengan mengira-ngira apa yang dipikirkan Parikesit waktu sekali lagi tombaknya mental dari dada Jakasombo.

Aku kira Dia akan menulis sesuatu yang agak ringan minggu ini. Karena minggu kemarin Dia menulis tentang Sang Fundamentalis. Seorang evangelis Amerika. Heavy stuff. Messiah, Armageddon, liberalisme, sekularisme, Al-Qaidah, Ku Klux Klan, Jemaah Islamiyah, kubur, surga sejarah. God help us.

Sebelum itu tulisan terburu-buru tentang mall baru yang penuh hot pants itu.

Biasanya Dia akan menulis tentang sesuatu yang terjadi pekan sebelumnya (Falwell meninggal) atau buku yang baru dibacaNya, atau lebih jarang, sesuatu yang terjadi padaNya. Jadilah ketergesa-gesaan esei mall itu.

Mungkin sudah setahun ini dia lebih marah daripada biasanya. Atau paling tidak aku jadi teringat fotoNya entah di mana, bersinglet dengan rambut berminyak acak-acakan, di depan mesin tik di kantor majalahNya yang lama. Jendela terbuka di belakangNya. Sebuah sore di Senen. Bukan lagi Dia rapi dengan dan turtleneck di tepi sebuah danau. Danube.  

Sesuatu telah berubah dalam dirinya.

Mungkin itu dimulai dengan sajak-sajak aneh yang dimuat di Kompas Minggu dua tahunan lalu. Sajak-sajak kasar yang sengaja tidak mau berbunyi manis seperti biasanya. Hanya penuh dengan tank, bom, meriam yang tak lagi meledak dalam cuaca. Hanya serentetan mesin pembunuh manusia.

Setelah itu Dia mulai memakai kata Ajal, dengan A kapital, di sajak-sajakNya setahun kemudian, yang menurutku, seratus tahun yang akan datang, akan dianggap sebagai mahakaryaNya. Atau mungkin juga sebagai satu lagi contoh  karya-karya menjelang ajal seorang seniman besar, yang mencoba membunuh dirinya sendiri sebelum benar-benar mati.

“ada nama yang mati / namaku yang mati”

Supaya Ia kekal, abadi.


2 comments:

  1. wah-wah-wah, sampean benar-benar ceria, mas, dan penuh gairah memperolok orang-orang utan kayu. hehehe...

    ReplyDelete
  2. yuhuuuuuuuuuuu.... hmm.... ya ya ya ... :))

    ReplyDelete