Friday 31 August 2007

SPELL NARCISSIST RITE, YOU FOOLS!

saya suka berpikir saya adalah orang yang sangat kosmopolit, atau kosmopolitan?, whatever. tadi malam waktu menonton film eternal summer yang membuka q! film festival di blitz megaplex, saya tidak bertepuk tangan di akhir film sementara penonton lain bertepuk dan bersuit, dan saya merasa begitu sophisticated. di luar sebelum film mulai ada zeke & the popo dan sementara orang-orang lain berbisik wah keren ya, saya keras-keras berteriak ke teman di samping saya, nama band yang mirip radiodead ini apa? kawan itu tersentak menjauh seperti saya baru saja bilang pacarnya seorang sundal. di bar orang-orang sibuk bertanya apakah tiket undangan bisa ditukar minuman dan menumpuk hors d'oeuvres di piring kertas sementara saya dengan dinginnya bilang, enggak gue udah makan di bawah, nggak, bawa equil kok dari rumah.

setelah itu kita berempat bergi ke after-party di pitstop naik peugeot 505 yang disetiri seorang teman wanita dan saya berpikir betapa gender-neutralnya saya. saat dia berpusing-pusing mencari tempat parkir di parking lot sarinah yang sempit saya sibuk ngobrol dan mengisap ganja dengan teman wanita satu lagi di bangku belakang. kita ngobrol tetang antoine doinel di 400 blows, gelsomina, dan siapa yang lebih menjengkelkan, jesse, celine, céline, atau zampano.

di pitstop saya melintas di tengah lantai dansa, kemudian berdiri menyilang tangan di depan bar sambil menonton bapak-bapak beranting speaker bluetooth yang berpendar-pendar biru dan mbak-mbak bertwinset warna-warni primer berdansa ria diiringi i will survive. saya berkata kepada teman wanita saya sesama penghisap ganja tadi, 'i don't think i can survive this too much longer.'

kemudian saya berjabat tangan, cipika-cipiki, dengan teman wanita yang menyetir tadi, dia bilang 'thank you,' dan saya hanya mengangguk sambil menggerakkan bibir entah meringis, senyum, atau gengsi, cipika-cipiki dengan beberapa orang lagi yang menyapa saya dengan nama dan saya jawab dengan 'eh elu, cabut ah, garing,' dan di luar menyetop taksi blue bird dan bilang kepada sopirnya, 'apartemen daksa pak ya.'

di bangku belakang saya dan teman saya tadi meneruskan menghisap ganja dan berbincang-bincang dengan suara keras dan tertawa-tawa lebih keras lagi tentang tiga hari untuk selamanya yang ia tulis selama tiga tahun yang terasa seperti selamanya, hahaha, kala yang begitu overrated (saya: 'ya, but i never rated it in the first place'), ekskul yang diam-diam membuat mewek, dan bagaimana australia di wincing the night away mengingatkan kita berdua pada stockholm circa 2005.

di apartemennya kita bermain tenis wii dengan avatar yang kita namai inem dan svetlanarapova smashnavratilova dan baks lagi lints baru yang diluluri madu di antara minum tequila dengan batu es dan duvel dan anker tapi never never budweiser. semuanya diiringi isabella dan suci dalam debu dari ipod 80g yang dipasang di sebuah bose sounddock. di sini kita bisa berbicara lebih keras dan tertawa lebih keras tentang jobdesk menjadi stylist ian kasela, polemik tentang dude harlino di lembar surat pembaca genie, dan kios gloria jean's di blok m mal yang benar-benar menjual jins.

jam lima mulai ada jeda di antara tawa kita dan aku memesan blue bird lewat speed dial di hapeku. nomor 2 setelah 1 yang 'kamu' dan tak pernah lagi aku pakai. blue bird meluncur ke taman paris di pinggiran tangerang dan aku tiba saat laundry masih tutup dan pasar tradisional baru dua, tiga penjaja memajang semangka dengan label 'sedless.' di kamar ac masih menyala, kumatikan, dan aku berbaring di lantai yang dingin berbantal tas selempang yang dari tadi kuseret ke mana-mana. bau asap rokok di mana-mana. pugggungku panas. aku belum ganti baju, tapi buat apa juga, toh aku tidak lagi tidur berdua. 

What You're Not Gonna Miss

Me not writing this.

Monday 27 August 2007

BAU BEKAS ARANG BAKAR DI HANAMASA*

Bau bekas arang bakar di Hanamasa
memanaskan nafsu kita.
Seakan-akan harum buah pala turun dari dahan,
ke haribaan.

Malam yang melintasi Mahakam
memang mengancam.
Ada segulung majalah gratisan, katanya, dengan 6 cerita
tentang lumut, jeram dan Lt. 6 Blok M Plaza

6 kiasan yang membujuk kita
mengabaikan akhir, hingga
kautetapkan tubuhmu
ke tubuhku, terus, seperti dulu.

Tapi di luar teks:
gultik dan kaligrafi
tak bisa lepaskan deru busway
dan suara mal selesai,

juga runtuhan merah-hati, kembang di atas got,
genangan hujan pada lobang jalan
yang berkaca-kaca, hingga kau bertanya,
di mana gerangan esok mereka?

Bagaimana aku akan menjawabnya?
Di luar gerbang ini kulihat seorang satpam
berdiri, menanti. "Berhentilah di sini, Tuan yang tak akan hadir
lagi. Berhentilah di McStop ini."

*no apologies to you

Sunday 26 August 2007

royal faluda

suatu malam sehabis nonton pan's labyrinth aku duduk bersama pacarku di kursi bar di komala's

dia memesan baby faluda, aku teh chai

dan kita ngobrol wek wek wek dua jam-an tentang salesman setengah baya, ibu-ibu india yang menjepit bawang bombay mentah dengan ujung jarinya, dan brondong-brondong di oh la la di seberang yang mencoba menyembunyikan cardigan murahan mereka di balik

tawa.

kita tertawa ha ha ha dan dia menggodaku kenapa begitu gampang menangis menonton pan yang berkulit kayu dan berbau tanah, dan aku menggodanya kenapa daya kritisnya hilang begitu nama gael garcía bernal muncul di layar.

'tapi kan tadi tidak ada gael garcía bernal?'

ha ha ha ha ha. 'kukira tadi sutradaranya juga benicio del toro!'

selagi mencengkeram perutku yang tegang tertawa

aku ingat waktu aku umur 10 tahun, duduk di atap rumahku di badran, jogja

menonton rumpun, gepeng, asep, githil, lilik, mas kelik, dan trio

membela gawang rt 6 dari serangan ganas nanang, bomber rt 12

buku pspb kelas empat terbitan tiga serangkai di pangkuanku

gambar jenderal oerip soemohardjo dengan epaulet-nya yang tak sempat disetrika

dan tangan yang menuding entah kopral siapa

di halaman 42.

besok ulangan.

waktu itu faluda hanya nama tante yang naik haji baru sekali tapi sudah lima kali umrah

(karena angka ganjil dikasihi allah)

dan chai, aku yakin waktu itu aku belum tahu ada sesuatu di dunia yang bernama seperti itu

ada kasti, ada gobag sodor, ada benthik, ada dhelikan, ada lèk lèk-an,

tapi belum ada chai.

sekarang pacarku menusuk-nusuk baby faludanya yang tinggal sepertiga, mencari vermicelli yang mungkin sembunyi di balik air susu yang putih seperti hatinya,

dan aku memutar-mutar sendok di teh chai-ku, memecah kerak lemak yang menggumpal di permukaannya:

waktu itu, juga belum ada dia.

so you think your blog entry is self-indulgent

hi hank, i've just read all your blog entries. it's funny how you sound
kinda different to the hank i know in real life. not too different. just a
little bit so. like a paint peel so. then it kinda makes me realise that
maybe i'm also like that, the blog me is kinda a marvel superhero
alternative world away from the real me. like you know how i can't stop
talking about myself in real life, but in my blog i hardly ever talk about
myself. at least, not in that confessions of j.j. rousseau the ancient
blogger kinda way. i say kinda too much. i hate it. i should be firmer and
be less afraid to make mistakes. i like reading your stories, about your
gadge, i like especially your getting really afraid that the fumes of the
drying floor paint (a lovely russet? the colour of blood!) are swimming in
your bloodstream like new clouds but not doing anything about it. you know,
since i moved to jakarta i have been obsessed with the idea of man trying to
live in a world that seems only too eager to kill. everything in it. you see
so much death but you also see life in the cracks in between all the deaths.
how? and why does life go on? reading your stories also makes me feel like i
was there with you at the narrabundah gym for a reunion and you were telling
me all that's happened to you since i left syldavia. oh, hi norm! the band night's
still goin'? hi bev! how are the riding gloves? need new ones? penny
joy! (consider: why did the world let someone like penny joy live? she was
fat and unhealthy, gave out deaths in little packets of second-hand literary
wisdom to all her students, yet she lived on! how? why?!) i miss talking to
my syldavian friends. about my syldavian life, in syldavian english. i
miss talking to you, and just kicking back singing gbv songs at the top of
our voice. maybe i should write more letters like this. i like this. do you
do messengers? i've added you on msn but you never seem to be online. do you
use yahoo instead? i miss syldavia the place too, sometimes i just want to
get out of the house and walk the two hundred metres to the beach like i
used to do in bondi and sit on a little patch of cool grass and stare at
that giant boulder that's stranded near the rock pool like an old zit. and
think about how it got there, people say it was a freak storm threw it out
of the sea, but what if it was giant bumbagana rising out of the dreamtime
sea like a nigga poseidon? but two hundred metres out of my house now is
just a new mall being built. it's fascinating in its own way what with all
the bamboo scaffolds that are supposed to secure the builders' lives but
more likely will impale them someday, but you just don't get the mix of
quietness and awe that you get from looking at nature, virgin nature like
you get in syldavia. but it's true that i don't get obessed with syldavia
the way i was obsessed about jakarta when i was living in klow. i could
not really explain why i missed jakarta then. it was something primordial,
primeval. now the way i miss syldavia seems more adult. i miss my friends,
they are the friends i made in my formative years so they will remain
important and perhaps, i will remain friends with them for the rest of my
life however hard i try to get away from them, and i will try to see them
again one day, because i want to and because i miss them, but i don't think
i can live in syldavia again. i don't want to. and that's a shame because
that means i can't live close to my friends again, and that perhaps, though
i want to remain friends with them, the distance in space and time between
us will become greater and greater that we will be friends in name only.
well that only means that i have to make more effort to remain close to my
friends, perhaps i should write more letters like this, try to talk to them
on skype (have you got it?), text them more often, whatever it takes. but i
have my own life here, little bits of sentences i'm trying to cobble
together into a neat little everlasting story of me ("he writes a tome of
pop-up books, never judge it on first looks!"). and you can't co-write the
story of your life with your friends. you have to shut the door to your room
and, head down, write the complete prose yourself.

mikael.

p.s. all this is a little sentimental, but that's how i get when i talk
about the past, memories, the true history of our gang. that's why i want to
concentrate on the now.

Thursday 16 August 2007

return to sender, sender not cool enough*

dear mr. darnielle,

like the best (worst?) of us, my fingers often, automaton-like, type random, stream-of-boredom, things in the google search and see what the web trap and prepare for us to consume this time. in the past two years i often type jakarta, followed by + then other things that might pass my mind: porn, indie chicks, punk, hardcore, grindcore, black metal, writers, female writers, blog, morrissey, etc. i miss jakarta. i was brought up there, briefly, before i moved to syldavia to study. i lived there again two years ago for just a little more than a year, which probably has only made me miss it more. it’s strange don’t you think, that my google search has never tangled itself around your webzine, last plane to jakarta? i remember i once typed jakarta + zine but the result was a few pages of women’s magazines like femina and dewi (which i used to read when i was a kid, especially for the gynaecology Q & A section - but now i have thumbnail porn). i mean, shouldn’t your website have come up when i typed jakarta + interesting thing? i really like your writing, even though i still haven’t found any articles on jakarta or indonesia, but since i only found out about it last night (via aquarius records’ website) i’m looking forward to dig into your fleshy archives. i read that in issue #5 you wrote about a jakarta punk band called parkinson, i’d love to read that, though i read somewhere that the content of the webzine and the paper and glue version never overlap. but i hold on hope. at the moment i’m all fuzzy and warm inside thinking that i’ve found someone who’s interested in both jakarta and black metal. i left jakarta in 1992 (on the last plane of the day from jakarta) wearing morbid angel t-shirt (don’t you think altars of madness is prototype black metal? - it’s evil-sounding even now, though i don’t understand why. it’s before their ancient sumerian fixation; perhaps the simpler anti-jesus propaganda was closer to their black hearts, though sometimes it sounds almost innocent and sweet). soon i would be wearing sadistik exekution, darkthrone, anatomy and a year and a half later i put them all together in a monster-sized garbage bag and donated them to the salvation army. i started listening exclusively to bowie and i’ve been regretting it ever since (i.e. throwing out my metal t-shirts, i’ll have to get back to you re: bowie - he’s another one in that exploding jakarta/indonesia scene, in black tie white noise he recorded a bahasa indonesia version of don’t let me down & down: jangan susahkan hatiku (bad translation: it now means don’t break my (achy breaky) heart, but it sounds awkward in indonesian. it’s like saying don’t make my heart sad. it sould’ve been jangan kecewakan aku, or jangan bikin gue kecewa if he wants to sound like a real jakartan, but he probably wants to be a balinese first)) i’ve started to listen to metal again since i found a copy of altars of madness in a record fair, the record reminds me of/sounds to me like jakarta: the spidery trey azagthoth (what a name!) leads that flick reels of 6 o’clock commuter traffic (am and pm) in my head, david vincent thrashy growl (“it’s the dawn of the crucifiers, SUFFOCATION!”), which seemed to scream inside my head inside a sweaty minibus stuck between a secretary with fake chanel no. 5 perfume and a rooster, agitating me to get out of the city. ah, the memory. the record lead me to aquarius records then to you. have you actually been to jakarta? did you like it? or did ‘the last plane to jakarta’ refer to a last-second getaway trip after a nightclub raid by jama’ah islamiah fanatics? i would like to know what you think of jakarta and i want to read all the things you have written about the city. i have found a copy of issue #4 on bed of sweats records website and i’m going to order it as soon as the owner tells me how to. please tell me if you chance upon a forgotten stack of issue #5 or any of the other issues and i’ll buy them off you. i like reading the non-jakarta stuffs of course, as i said i’ve only read a few articles since i found the website just last night. i like your meshuggah best video article and the darkthrone/circle of dead children review, i tried to look up more of codc lyrics (i never heard them before) but their lyrics link didn’t work. if they’re like the one you quoted then that’s the most poetic grindcore lyrics since carcass’s symponies of sickness. i would also like to buy a last plane to jakarta t-shirt, in the burgundy colour and small size. i want to use a money order, please tell me whether the item is still available or not, and i’ll send the money. from australia it takes around 10 days to get to you. have you ever heard jakarta/indonesian black metal, grindcore etc? unfortunately i don’t have a double-deck tape recorder but if you’re interested perhaps that’ll make me buy one. do you know a good model? then i can tape you some, not much, i only have a series of compilation tapes called metalik klinik (metallic clinic) with bands that do note-perfect pastiches of kreator, napalm death, darkthrone etc. indonesians are great at pastiche, bands usually adopt a ‘real’ band and play their songs for many years before they write their own songs. but that culture seems to be changing. metalik klinik contains only original songs, though the styles are derivative. one band tengkorak (skulls) sounds exactly like barney greenway era napalm death. one band from bali tries to do gamelan riffs as black metal tremolos, but that’s about the only thing ‘indonesian’ about the project (tengkorak has samples from a batak father scolding his son for hanging out after school, but it might not be funny if you’re not from jakarta). i have tapes of other bands like rumah sakit (a stone roses/ride pastiche), clubeighties (duran duran/the cure), naif (‘70s pop). but what am i doing tempting you with all these? i don’t even have a double-deck cassette player! sorry. i love your writing and i’ve refrained from mentioning anything about your band the mountain goats because i have never heard it (i only found out about it last night too). i am sorry. i’ve been listening to too much morrissey. i have read some biographies and interviews of you last night and i know all about the PT 500 panasonic condensed microphone etc. (the ‘do you know a good model?’ question was a lame joke, wasn’t it?) i imagine your method (old? - do you still do the boombox recordings?) attracts a lot of rabid fans, so i’m sure you won’t be freaked out by this rabid letter. i will order some cds from 3bos with the magazine. or do you know a better way? thank you for putting jakarta on a small but bright corner of the web. i will visit it often.

yours faithfully,

mikael.

*email to john darnielle of the mountain goats, june sometime 2003

write petty

i want to write pretty
but i forget the whole thing is like muscles
i have to train
so the red stays red
and the white stays fat
and not turn into red
i worry about staying a half-beat behind
and enunciate every syllable as if it was the last
is that what they call phrasing?
i say to myself everyday:
today i’m going to lose it
the way i lost my petit javanaise
through lack of use.
but that’s not entirely true,
i can still speak it, perhaps
the problem is i was
never much good at it .
you know i want everything to be perfect
so i can’t ever think: oh, but the good
outweighs the bad.
to me the bad always outweighs the good!
sometimes i say, ah, let me just
paint pictures, as long as i have them
i will never run out of things to say.
i mean, don’t all intelligent people think in pictures?
or did he say only intelligent people think in pictures?
it’s only after that a whiff of words
flies past your nose
and you can only hope you catch all of it.
but they’re usually slippery as ghosts.
i’ll give you one:

i tilt my ipod
30 gigs for 30 years
of music geekery
so the angle
reveals to me
the white plastic
smooth to the touch
hides crop circles
of hairline scratches
that disappear again
when the sunlight
through the taxi window
hits.

see something’s wrong with the last line?
like it’s missing a word
and i know what’s missing
is a picture.
it was (scratches ...) “lit by the sun”
is it the passive construction?
or the servility of by
that i hate?
i mean, i’m learning new things
shoot new pictures into my brain
like how up or down is always better
than moving forwards
or that when she had her hair cut
the next day the shadows of her old cut
refused to go still
or that we memorise
the kinds of wood
but not the names
of trees
or a helluva things about nightfruits.
i make notes so that i don’t have to remember anything.
and i have learned how to suffer
esorais m’ hos ekdika paskho!
so i don’t have to cry
but still i worry how
the pictures play in widescreen
without a sound.
my drama! ha!:

and i see her in her old swimsuit
with the blue leaves
of the nameless plant on her left breast
and she had on a new bracelet, brown suede,
the way she likes it,
to go with her old look:
when she stares into space
and it is as if
she looks through you.
(i don’t have to tell you that she was standing
right on the edge
of the row of friends
she had since high school,
a feet further apart from the others,
the way she always does)

or do i make notes so i don’t have to write?
there’s nothing real in practising
just as there should be no trace
of practice in the real thing.
i am sorry i take thunders away from you
as if i need more
and you never need one.
“even in the slow practice
of a fast kung fu move”
and that’s just a picture,
after i plug the words
which i drag
out from the cold, in. as
i cup my mouse
with the tenderness of a virgin lover
and feel the talc of dust
on its curves.

Wednesday 15 August 2007

Second-rate Life

Saya membaca majalah Tempo pagi ini, ya, saya membaca majalah Tempo pagi ini, yang bertajuk 'Pergulatan Demokrasi Liberal, 1950-1959: Zaman Emas atau Hitam', kemudian saya berpikir tentang suatu sore kira-kira 10 tahun lalu waktu saya menerima bingkisan dari ibu saya berisi kaset-kaset pidato Bung Karno yang katanya ia beli di emperan Monumen Proklamasi. Dari seorang Soekarnois yang menjualnya dari bak Kijang. Ada dua atau tiga kaset, sampulnya berwarna tapi cetakannya murahan. Warna two-toned merah putih apa lagi, dengan potret Bung Karno berkaca mata hitam. Bentuknya mirip Ray-Ban klasik yang sekarang menjamur lagi, tapi jumlah pixel di sampul murahan itu tidak cukup menangkap merek di gagangnya, kalau memang ada.

Isi kaset itu berbagai macam pidato di berbagai tempat, yang saya ingat dua, satu di PBB berbahasa Inggris dengan suara seperti dalang, dan satu lagi ceramahnya di sebuah universitas di Malang, dengan nada yang lebih santai dan sempat ada tanya jawab, walaupun pertanyaannya tidak kedengaran, tapi dalam jawabannya Pemimpin Mimpi Besar Revolusi [mungkin Pemimpi Besar Revolusi lebih lucu?] itu sempat melucu.

Waktu itu saya senang dengan Bung Karno. Atau tepatnya, waktu itu saya bangga punya bekas presiden seperti dia. Walaupun sebenarnya, waktu itu, saya tidak begitu tahu juga tentang dia, dan, kadang-kadang, susah merekonsiliasi menonton footage Pinochet dalam sebuah acara kenegaraan berbaju militer lengkap dengan epaulet berumbai-rumbai kemudian berpikir, what an idiot, kemudian menonton footage BK berpeci, berkaca mata hitam yang sama, berbaju militer lengkap dengan papan tanda jasa seukuran alun-alun di dadanya, melambai-lambaikan tongkat komando kepada rakyat Amerika yang menyambutnya bermobil konvertibel bersama JFK, kemudian berpikir, what a fuckin cool guy.

Dalam berbagai artikel di Tempo tadi, ada banyak cerita tentang bagaimana Soekarno suka melakukan banyak hal yang tidak rasional, seperti mengkritik Menteri Keuangan yang dianggapnya terlalu sibuk mengurusi ekonomi, hahaha, daripada membebaskan Papua dari Belanda, memanggil TB Simatupang "poept" (tai), dan menyatukan Indonesia. Pokoknya Tempo edisi ini setuju dengan Herbert Feith yang menyebut pemimpin seperti Soekarno sebagai solidarity maker yang "pemikirannya sentimental dan kebijakan pemerintahnnya tak rasional" (Tempo, 17 Agustus 2007, h. 27) tapi tentu saja tak mau terang-terangan mengakuinya jadi mengutipnya saja sebagai pendapat Feith dalam sebuah laporan besar yang tak pelak seimbang dan obyektif.

Yang membuat saya jadi ingat bahwa waktu itu setelah mendengarkan kaset-kaset pidato Bung Karno saya sebenarnya kecewa, tapi tidak mau mengakuinya. Nada suaranya di podium PBB memang gagah, walaupun aksennya membuat beberapa bagian kedengaran seperti bahasa Belanda, atau tepatnya seperti aksen pemain ketoprak yang memainkan tokoh kopral Belanda di TVRI Jogja circa 1985, tapi isinya sebenarnya tidak lebih dari propaganda tentang gerakan Non-Blok dan Pancasila. Dan buat yang masih yakin Soekarno sebenarnya seorang komunis: buku pertama yang dikutipnya dalam pidato ini adalah Al-Quran. Dan yang kedua, Injil. Sementara yang saya ingat dari ceramahnya di Malang itu adalah leluconnya kepada mahasiswa penanya tadi, yang tidak lucu.

Kemudian saya berpikir, betapa banyak orang-orang seperti itu di negeri ini. Orang-orang yang kalau kita melihat gambar mereka, di koran, di TV, di kolom foto multiply, begitu menarik, mengesankan, ganteng, cantik, kece, keren, muda, berbakat, sophisticated, totally with it, kosmopolitan, membuat iri, gokil, nendang, dar!, lucu, anjrit, tuinggg!, tapi sebenarnya hanya dilletante second-rate.

Jimi Multhazam misalnya, orang menganggapnya lucu dan gokil sehingga dia laris manis sebagai MC. Tapi di panggung dan dalam interview-interviewnya saya bingung, dia hanya mengulang-ulang kata "fren" dan "Mars", dan semua orang ketawa? Pengkultusan Jimi Upstairs sebagai l'homme gokil extraordinaire ini sebenarnya mengaburkan kenyataan bahwa mungkin dia sebenarnya adalah seorang penyair first-rate, lirikus terbaik Indonesia sejak Oddie Agam, sekaligus meyakinkan bahkan dia sendiri mungkin untuk, sejauh ini, menjalani karir sebagai Iggy Jagger second-rate dan Raja Pensi.

Kemudian Joko Anwar. Kebanyakan orang menganggapnya jenius setelah Kala. Tapi apakah sebuah film, karena dibangun di atas lelucon—yang harus diakui agak subversif, tapi subversif di negeri yang penuh dengan orang second-rate apakah benar-benar subversif?—bahwa Ratu Adil, the Queen of Justice, ternyata seorang Rice Queen, dan disusun dari kolase koleksi video Tarantino, otomatis bagus?

Atau Ayu Utami. Selain pemberontakan seksualnya yang lugu—lihat buku Katrin Bandel Sastra, Perempuan, Seks tentang vagina dalam Saman yang "haus", butuh sperma untuk orgasme, vagina butuh sperma untuk orgasme???????—buku ini juga diakhiri dengan kalimat imperatif "Perkosalah aku" yang selain inversinya bisa ditebak, ya, yang mengucapkan itu Saman, seorang lelaki, efeknya juga kurang nendang karena itu diucapkan ... dalam email.

Begitulah. Bulan lalu saya ke Ende, ternyata di situ ada rumah tua yang dirawat dengan baik, dengan pekarangan luas, pohon mangga, sumur dan halaman rumput di belakang, bekas tempat pengasingan Soekarno. Itu setelah seminggu mendengar cerita penuh semangat dari sopir bus, nakhoda kapal, kenek, preman pasar, tentang kesaktian Bung Karno yang membuat politisi-politisi lawannya tidak berani mengunjungi Ende. Politisi terakhir yang nekad adalah Adam Malik yang mengunjungi Danau Kelimutu, tempat Bung Karno bertapa, dan begitu pulang ke Jakarta dia langsung mati. Begitu cerita mereka. Di "kamar semedi" di rumah pengasingan itu penjaga rumah yang bermata satu menunjukkan tiga lingkaran lonjong mengkilat di lantai semen, katanya, "Itu bekas dahi, dan dua tangan Bung Karno waktu solat. Setiap kali kita pel, selalu muncul lagi." Di sumur, pengunjung mengambil air sumur untuk cuci muka sambil berdoa (seorang gadis setengah berteriak, "Semoga jodoh lancar Bung Karno") dan beberapa membeli botol Aqua di warung seberang jalan, membuang isinya, dan menggantinya dengan air sumur.

Saya mengamati semua itu sambil duduk di lantai beranda belakang yang dingin, rumah ini begitu isis, padahal Ende panas, penjaga rumah yang duduk di samping saya menatap saya dengan matanya yang cuma satu, "Bung Karno sempat punya istri juga di sini. Orang Flores asli. Anaknya dua."

The life of a second-rate. Enak juga kelihatannya.



 

Thursday 9 August 2007

The Intern

Rating:
Category:Movies
Genre: Romantic Comedy
Seorang pelacur diusir dari kosnya dan berjalan terseok2 di gang2 sempit dan becek menyeret laundry bags plastik berisi semua hartanya di dunia ini, menemukan kamar kosong penuh sampah dan kecoa yang kemudian ia sewa dengan uang panjer setengahnya karena uangnya sudah habis untuk dikirimkan ke anak dan neneknya yang bertempat tinggal di sebuah tempat berkode area telpon lain yang mestinya jauh karena dia sudah bertahun2 tidak ketemu anak dan neneknya yang sakit2an dan harus masuk rumah sakit makanya dia bulan ini harus kirim uang lebih dan waktu si pelacur ini menelpon dia minta maaf berkali2 sama anaknya harus nelpon malam2 harusnya dia sudah bobok tapi malam lewat jam sembilan tarif telpon baru murah dan maaf uang ibu habis, nak, dan sebelum dia sempat say goodbye kepada anaknya germonya sudah menggedor2 pintu kaca wartel itu dan menyeretnya ke sebuah kamar di 'hotel purnama' dan di situ dia diperkosa tiga pria sampai wajahnya lebam dan berdarah2, begitu siuman dari pingsannya dia melarikan diri ke rumah kosnya dan duduk di sumur dengan pose erotis dan sibin dengan loofah kasar yang dia harapkan akan mengeruk semua dosa dan najis dari kulitnya, malam itu dingin tentu dan dia hanya mengenakan jarik tipis yang mulai basah dan pas dia mulai menggigil kedinginan datanglah bapak kosnya menyelimutinya dengan jarik baru yang masih kering, bapak ini juga yang kemudian mengijinkannya bekerja jadi pembantu, bersih2, ngepel, di rumahnya yang juga merangkap jadi 'roemah photo', bapak ini sangat rajin sembahyang tiap hari dia membakar hio dan memberikan sesajen tiga butir apel dan tiga butir lemon di piring plastik tapi anehnya bukan di klenteng tapi di rel kereta yang ditumbuhi bambu dan semak2, dia seorang cina tua dengan jenggot beruban dan jalannya lambat dan terseok2 juga seperti terkena rematik atau tbc tulang, dia juga di hari2 tertentu menuntun sepeda tua yang dimuati kotak kayu di belakangnya yang berisi pigura bergambar foto2 keluarga hasil jepretannya, kamera, dan kursi lipat kecil, sepeda ini terlihat begitu berat dan benar saja, tiba2 si bapak cina ini jatuh karena tak kuat lagi menggeretnya dan tentu saja si pelacur berhati mulia tadi ada di dekat si cina tua berhati emas dan taat beribadah ini dan menangkap badannya pas sebelum jatuh terhempas di lantai gang yang kotor kemudian membantunya mendorong sepeda tadi ke sebuah sudut pasar yang dindingnya bercat merah dan ada kotak2 hitam di permukaannya tempat si ccina tua ini entah sudah berapa puluh tahun menggantungkan pigura2 yg dia simpan di kotak kayu di atas sepedanya tadi, si pelacur membantunya menggantungkan pigura2 itu, mereka berdebat sebentar pigura mana di paku yg mana karena tentu saja si cina tua ini juga seorang perfectionist bahkan mungkin pula seorang artiste karena kalau tidak untuk apa dia memotret dengan kamera kotak kayu kuno dan nikon slr yang sarungnya masih terbuat dari kulit dan menyediakan background bergambar berbagai macam kitsch seperti istana cina tua, taman firdaus dan yg paling besar yg suatu hari dia bersihkan bersama si pelacur tadi, background raksasa bergambar tembok raksasa cina, karena, tentu saja, si cina tua ini sebenarnya masih punya impian untuk kembali ke negara asalnya, dia sampai di kota tua ini berpuluh tahun yang lalu dan dia masih ingat hampir terjatuh kecebur ke air pelabuhan yang hitam waktu melompat turun dari kapal, oh betapa banyak penderitaan yg dialami karakter2 utama film ini, tapi sekarang dia sudah tua dan berkali2 dia menyebutkan, 'saya harus menyelesaikan tugas2 saya,' dengan logat aneh yang membuat kita merasa tegang begitu ada firasat dia akan bicara, dan tugas apa itu dia tidak pernah mau memberi tahu si pelacur tadi yang sampai di sini sudah jadi begitu setia (ada erotic undertones tentunya, seperti di scene mandi junub setelah diperkosa tadi, tapi tentu tidak pernah diijinkan menjadi overtones karena that would be norak) hanya dia suatu hari mengajaknya menempelkan flyers tulisan tangan yg menawarkan siapa yg mau magang di roemah photonya dengan bayaran makan 3x sehari, sampai di sini tentu penonton sudah ingin sekali menjambak jenggot si cina tua ini dan berteriak, 'n(k)ek, kelihatannya udah jelas deh siapa orang yang paling pantas jadi anak magang ini, gimana sih,' tapi kemudian ada scene audisi anak magang yg dipenuhi cameo selebriti papan atas yang dengan senang hati memerankan stereotipe mereka sendiri, dan kemudian ternyata si cina tua ini hanya mempercayai laki2 untuk meneruskan usahanya dan kita pun menjambak rambut sendiri, kok bisa, kok bisa gajah di pelupuk mata tidak kelihatan, etc, tapi ternyata si anak magang baru yang bekas tentara ini tenyata matanya mungkin sedang mengalami gejala awal glaukoma dan dalam tugas pertamanya sebagai wedding photographer semua foto yg dia ambil gak ada yg fokus dan karena itulah sebenarnya dia dibebas tugaskan, karena matanya cacat, dan sampai di sini, kita berpikir, geez, just give the goddamn internship to her already, she's already cooking you lunch, dan pecahkan semua problema di cerita ini dengan satu kali dayung, si pelacur perlu uang dan si cina tua perlu menyelesaikan tugasnya (sampai di sini kita berasumsi tugasnya adalah menemukan penerus roemah photonya), tapi oh dunia di sini tidak segampang atau selogis itu, ingat si cina tua ini mungkin seorang artiste dan tentu dia akan sering mengambil keputusan bisnis yg tidak masuk akal, jadi ya, terpaksa si pelacur melacur lagi dan waktu dia masuk ke sebuah mobil mercy dia sempat melihat si cina tua menontonnya dari depan rumahnya, si pelacur tidak begitu kelihatan senang ketahuan telah kembali ke jalan yang tidak benar tapi kalau tidak mau ketahuan kenapa juga dia nongkrong menunggu lelaki hidung belang pas di depan kosannya, minta digaruk banget, dan besok paginya dia menyambangi si cina tua tempat penyembahannya di tepi rel kereta api dan berceramah dengan logat jawa yg dicengkok2kan, 'yang penting itu yang hidup, bukan yang mati,' si cina tua hanya diam dan terus mengangguk2kan ujung hionya, dan kemudian mereka berdua pergi berplesir ke pelabuhan naik kereta ekonomi karena ternyata ini termasuk salah satu 'tugas yang perlu saya selesaikan' tadi (dan dia mengaku, 'saya sudah lama sekali nggak naik kereta'), tugas yang enak, di pelabuhan dia bercerita tentang waktu dia hampir kepeleset kecebur ke laut waktu turun dari kapal yang membawanya dari cina ke kota ini tadi dan tentang impiannya berlayar kembali ke cina, dan siapa tahu kalau seperti yg pernah dia dengar si pelacur beneran jadi penyanyi karaoke di kapal pesiar mungkin dia bisa ikut jadi fotografer di kapal itu walaupun, 'nggak bisa keliling,' (pake sepeda tua tadi maksudnya) dan di perjalanan pulang mereka berdua duduk di kursi sempit di pinggir pintu kereta yg terbuka dan angin sepoi2 membuat si cina tua ngantuk dan kepalanya terkulai jatuh ke pundak si pelacur dan si pelacur mengubah posisi duduknya sedikit supaya mereka berdua lebih nyaman dan membelai dahi si cina tua itu dengan tangannya yang langsing dan berkuku rapi, tangan yg sama yg setelah sampai rumah membuka kotak kecil yg disimpan di kotak besar yg sudah diwanti2 tidak boleh dibuka oleh si cina tua, dan ternyata di dalam kotak kecil itu tersimpan segepok foto2 tua hitam putih yg diikat dengan karet gelang merah, foto rel kereta yg melengkung ke pojok atas (portrait mode), kursi studio dan kamera di sisinya, dan foto2 yg tadinya kelihatan seperti patung2 papier mache tapi ternyata memang patung2 papier mache berbentuk potongan kaki, tangan, badan tanpa kepala, kepala tanpa badan, i must admit these photos look kinda cool, walaupun sangat terganggu dengan pikiran bahwa ketebak banget sih, pasti dulu istrinya ketabrak kereta api makanya dia suka sembahyang di rel itu, dan ternyata memang benar karena si tua tiba2 keluar dari kamarnya dan memergoki si pelacur dengan foto2 seram yang tersebar seperti cacahan (haha) puzzles di atas kotak besar dan kali ini tidak marah atau merajuk malah membantu si pelacur menyelesaikan puzzle film ini: ya itu tubuh istri saya dan anak saya, saya yang memotretnya, pagi itu saya memutuskan untuk meninggalkan mereka karena saya muak dengan kewajiban meneruskan usaha roemah photo ini dan kemudian beralihlah film ini seakan2 belum cukup kurang forward momentum ke sebuah flashback si tua muda memandang istrinya yang cantik sedang menyetrika kemejanya dan anaknya bermain pesawat2an di sampingnya dan tentu saja roman wajah si tua muda itu penuh dengan permintaan maaf dan istrinya seakan2 tidak punya mata di belakang kepalanya kemudian si tua di gerbong kereta yg sama dengan yg ia tumpangi dgn si pelacur tadi dengan slr tergantung di lehernya dan kereta melaju kencang tapi tiba2 gluduk!, kereta melindas sesuatu dan seseorang menarik tuas rem darurat dan semua penumpang turun termasuk si tua muda dan dia jongkok mengamati sepotong tangan yg darahnya terlihat terlalu terang seharusnya mereka pakai heinz jangan abc, menarik gelang di pergelangannya dan sadar, ya itu tangan isterinya, kemudian bangkit dan mulai memotret potongan2, cacahan2 tubuh itu supaya nan achnas bisa membuat sebuah sinetron penuh hipermelodrama dan orang tertabrak kereta dengan kedok sebuah art movie ultra indie tentang kesendirian, tekanan meneruskan bisnis keluarga, apa efeknya menyimpan rahasia terlalu lama, dan sebuah hubungan cinta lintas budaya yang tak jadi terjadi, atau apa sudah terjadi tapi mereka tidak menyadarinya?, ya pokoknya bikinlah sedikit ambigu biar gotheborg dan hubert bals fund menurunkan dananya.

Wednesday 8 August 2007

Purnama di Bukit Langit

Rating:★★★★
Category:Books
Genre: Literature & Fiction
Author:Zhou Fuyuan

Bunga rampai Purnama di Bukit Langit Zhou Fuyuan ini bukan bunga rampai puisi Tiongkok klasik yang pertama di Indonesia. Tahun 1949, Balai Pustaka pernah menerbitkan Himpunan Sajak Tionghoa susunan Mundingsari (harga f 1,60) yang berisi 39 sajak. Tahun 1962 (atau 1963?) sebuah badan bernama Komite Perdamaian Indonesia telah pula menerbitkan buku kecil berjudul Tu Fu (Rp 165) “dalam rangka memperingati 1250 tahun lahirnya pujangga besar Tiongkok Tu Fu yang sangat dicintai dan dihormati oleh Rakyatnya sendiri dan oleh Rakyat-rakyat lain di seluruh dunia” (huruf R besar untuk kata Rakyat memang asli dan disengaja dalam kata pengantarnya). Menurut sampulnya buku ini berisi terjemahan-terjemahan Amir Hamzah, Anas Ma’ruf, Ang Jan Goan, Mundingsari, Pramoedya Ananta Toer, Ramadhan K.H., dan sebuah kolektif misterius yang dinamakan Tiongkok Rakyat. Sayang Komite Perdamaian Indonesia ini mungkin terlalu sibuk menyiapkan pesta malam peringatan Tu Fu, atau mungkin terlalu asyik berpesta, (“23 Desember 1962 di gedung Lembaga Administrasi Negara Jakarta”), sehingga mereka lupa mencetak nama penerjemah setiap sajak. Selain lima sajak terjemahan Mundingsari yang diambil dari bunga rampainya di atas, 16 sajak yang lain masih menunggu detektif-detektif sastra untuk mengidentifikasi sidik gaya mereka. (Terjemahan Amir Hamzah (kalau memang ada) bukan sajak T(h)u Fu yang ia sertakan di kumpulan Setanggi Timur-nya.) Tahun 1976, giliran Budaya Jaya menerbitkan Puisi Cina Klasik, “dipilih dan diterjemahkan [dari versi bahasa Inggris Robert Payne dan Liu Wu-chi] oleh Sapardi Djoko Damono” (Sapardi juga menulis komentar untuk buku Zhou Fuyuan ini), yang berisi 56 sajak. Kemudian tahun 2001 lalu Wilson Tjandinegara menerbitkan Antologi Sajak Klasik Dinasti Tang, yang ia terjemahkan dari versi modern karya Xu Fang. Buku ini berisi 100 sajak. Cukup banyak, tapi bukan apa-apa dibanding 560 (!) sajak yang dihimpun dan dialihbahasakan Zhou Fuyuan (dari bahasa aslinya, Tiongkok Klasik) di bunga rampai Purnama di Bukit Langit ini.

Selain jumlah sajaknya yang jauh lebih banyak, perbedaan paling mencolok di Purnama di Bukit Langit adalah penyusunan dan gaya bahasanya. Bunga rampai ini dibagi menjadi dua bagian besar, yang pertama berisi sajak bergaya shi, dan yang kedua berisi sajak bergaya ci dan qu. Ini biasa saja. Li Po dan Tu Fu, mata kiri dan kanan puisi klasik Tiongkok itu, menulis puisi-puisi mereka dalam bentuk shi, dan karena itu Purnama di Bukit Langit bukan bunga rampai pertama yang memberi porsi lebih besar (kalau bukan semua) untuk puisi berbentuk ini. Dalam bunga rampai Zhou Fuyuan dua bagian besar itu masing-masing dibagi lagi menjadi bagian-bagian lebih kecil yang dihimpun berdasarkan tema, yang diberi judul seperti “Rembulan di Rantau”, “Keluhan Musim Semi”, dan “Reruntuhan Masa Silam”—dan tiap judul masih diurutkan lagi berdasarkan dinasti, dari yang paling awal, Zhou, sampai dinasti terakhir sebelum zaman modern, Qing.

Mengumpulkan puisi (atau esei, cerpen, seni apapun) berdasarkan tema mungkin langkah berani. Atau berani mati? Siapa bisa menjamin sebuah puisi tentang rembulan di rantau tidak juga mengeluh tentang musim semi dan reruntuhan masa silam? Bukankah menyimpulkan tema sebuah puisi sama saja dengan mencoba mencekik nafas puisi itu? Mungkinkah menghimpun puisi berdasarkan tema menunjukkan sempitnya cara baca penghimpunnya?

Kenapa misalnya tidak ada tema “Kematian”, padahal banyak sekali puisi di bunga rampai ini yang berbicara tentang itu? Apakah Zhou Fuyuan terpengaruh pengarang-pengarang tak bernama dalam Kitab Nyanyian yang begitu takut dengan kematian sehingga mereka berusaha sebisa mungkin tidak menyebut namanya?

Kelihatannya, tema-tema di buku Zhou Fuyuan tidak punya tujuan seserius (atau sesengaja) itu. Mereka sekedar memudahkan pembaca mencari puisi macam apa yang sedang ingin ia baca, seperti papan-papan tema di rak kartu Hallmark. Judul-judul temanya pun, seperti kartu Hallmark juga, sentimental. Selain tiga di atas tadi, juga ada “Buah Rindu”, “Senandung Air & Bukit”, “Derita Pengembara”. Melihat keinginannya memanjakan pembaca, termasuk kerakusannya mengumpulkan sebanyak mungkin puisi, penyair, dan dinasti, mungkin Zhou Fuyuan memang ingin bunga rampai ini menjadi semacam primer Puisi Klasik Tiongkok, mungkin seperti The Columbia Book of Chinese Poetry-nya penerjemah puisi Tiongkok (dan Jepang) legendaris Burton Watson—dan ia pun berhenti cuma sampai Dinasti Sung (abad 13)!

Bagaimana dengan mutu terjemahannya sendiri? Mungkin terjemahan Zhou Fuyuan tidak akan memodernisasi puisi Indonesia seperti Ezra Pound merontokkan bunga-bunga Victoria dari puisi (berbahasa) Inggris (menggantinya dengan colongan bahasa Yunani Kuno, Itali, Prancis, ideogram Cina!), sekaligus memelopori Imagisme, Vortisisme, Modernisme, etc., hanya dengan kumpulan tipis terjemahan puisi klasik Tiongkoknya, Cathay. Bahasa Zhou Fuyuan, diksinya, rimanya yang teratur bagai pantun, struktur barisnya, sekilas terdengar kuno, sangat Pujangga Baru. Lebih Amir Hamzah daripada Bunga Matahari.

Zhou Fuyuan juga memilih untuk menyamakan jumlah kata per baris terjemahannya dengan jumlah karakter per baris di puisi aslinya. Empat karakter di sebaris puisi dari Kitab Nyanyian, empat kata di baris terjemahan Zhou Fuyuan. Keputusan ini membuat proses penerjemahan Zhou Fuyuan jadi seperti sebuah permainan (belum lagi mengarang rimanya yang teratur). Kebetulan, ini cocok dengan semangat bermain-main penyair-penyair klasik Tiongkok, yang sering menulis puisi beramai-ramai, saling meniru rima (atau malah kata) yang dipakai temannya, bahkan mengundi rima apa yang akan mereka pakai.

Menerjemahkan karakter Tiongkok yang (walaupun tidak selalu) seperti sebuah gambar ke dalam sebuah kata bahasa Indonesia yang (kebanyakan walaupun tidak semua) berupa tanda untuk sebuah gambar bisa jadi permainan yang rumit. Contohnya baris terakhir dari puisi Wang Wei yang terkenal, “Lu zhai” (di bunga rampai ini diterjemahkan sebagai “Pesanggrahan Rusa”). Kalau diterjemahkan per karakter baris ini akan berbunyi “kembali-bersinar-hijau-lumut-atas” (lima karakter); Zhou Fuyuan menerjemahkannya menjadi “kembali menapak di atas hijau lelumutan”. Zhou Fuyuan memang terpaksa curang menganggap “di atas” sebagai satu kesatuan, satu kata, untuk memenuhi prinsip satu karakter satu kata tadi (dia juga mengganti rima puisi jue qu ini dari a-b-c-b menjadi a-a-b-b, tapi ini soal lain lagi), tapi, walaupun kadang-kadang dia melakukan kecurangan-kecurangan kecil seperti ini (poetic licence-lah) biasanya Zhou Fuyuan berhasil mematuhi aturan buatan sendiri itu tanpa mengurangi kepuitisan terjemahannya.

Perhatikan pilihan Zhou Fuyuan untuk mengganti kata “bersinar” dengan “menapak”. Bandingkan dengan, misalnya, terjemahan Kenneth Rexroth, “And gleam again on the shadowy moss”, atau Gary Snyder (dua duta puisi Tiongkok dalam bahasa Inggris), “Again shining/on green moss, above.” Puisi ini sudah sering sekali diterjemahkan (lihat buku 19 Ways of Looking at Wang Wei), dan ada dua masalah yang selalu diperdebatkan di baris terakhir ini, di mana “atas” itu, apakah lumut itu benar-benar di “atas”, menempel di cabang-cabang pohon, atau merekat di “atas” batu-batu (tentu saja di “bawah”, di tanah) dan seperti apa sebenarnya (apa artinya, apakah ini sebuah simbolisme Amida Buddha, seperti usul Octavio Paz) “kembali-bersinar” itu.

Di sini Zhou Fuyuan, seperti Rexroth, menghindari menyebutkan lumut itu ada di mana (di mana-mana?), tapi tidak seperti Rexroth dan Snyder yang memilih terjemahan standar “gleam again” dan “Again shining” untuk “kembali-bersinar”, Zhou Fuyuan mengusulkan “kembali menapak”. “Menapak” membuat sinar di Pondok Rusa Zhou Fuyuan, tidak seperti di “Deer Camp” Gary Snyder ataupun di “Deep in the Mountain Wilderness”-nya Kenneth Rexroth, bebas bergerak. Ke mana-mana. Ke atas, ke bawah, ke atas lagi. Di mana pun lumut itu ada. Personifikasi “menapak” mengubah frase garing “kembali-bersinar” menjadi gambar yang hidup—bukan sebuah personifikasi yang sekedar sok puitis.

Ini mungkin bukti bahwa Zhou Fuyuan bukan hanya seorang penerjemah, tapi juga seorang penyair. Yang bukan hanya mengalihkan kata-kata tapi juga gambar dan rasa, dan menciptakan kembali (merepatriasi?) apapun itu yang kita rasakan sebagai “puisi” dalam versi aslinya.

RINDU MALAM

Sinar purnama di depan pembaringan,
embunkah yang membeku di pelataran?
Tengadah menatap rembulan purnama,
tertunduk mengingat kampung halaman.

[Li Bai (Li Po)/Zhou Fuyuan]

SAMADI DI MALAM SEPI

Kusaksikan cahaya bulan bersinar di tempat tidurku,
Barangkali salju lembut telah melayang jatuh?
Kuangkat kepalaku menatap bulan di bukit,
Kemudian tertunduk kembali merenungi bumi.

[Li Bai (Li Po)/Sapardi Djoko Damono]

THOUGHTS IN NIGHT QUIET

Seeing moonlight here at my bed,
and thinking it’s frost on the ground,

I look up, gaze at the mountain moon,
then back, dreaming of my old home.

[Li Bai (Li Po)/David Hinton]

Hanya versi Zhou Fuyuan yang mempertahankan keabsenan “aku” yang menjadi salah satu ciri khas puisi klasik Tiongkok yang selalu berusaha keras menghapus diri penciptanya sehingga yang tersisa hanya puisi itu sendiri. (Pertimbangkan juga, tanpa “aku” pembaca bisa hadir langsung, menjadi “aku” yang tak disebut, dalam puisi itu.) Versi Sapardi mungkin terpengaruh imagisme, no ideas but in things!, sehingga hal terabstrak di puisi ini, “home”/”kampung halaman”, dia konkretkan menjadi “bumi” (satu-satunya yang pernah saya lihat dari banyak terjemahan puisi ini). Sementara versi David Hinton, terutama judulnya, terdengar hampir seperti bahasa Inggris pidgin. Mungkin dia berusaha mempertahankan kepadatan makna ideogram Tiongkok (see-moonlight-bed/think-frost-ground), hal yang sebenarnya juga telah dilakukan Zhou Fuyuan (mungkin) tanpa sengaja dengan strategi satu karakter satu kata tadi. Pengkupletan dua baris yang idenya bertentangan tapi strukturnya mirip (“tengadah-tertunduk”, “I look up-then back”) juga dipertahankan di versi Zhou Fuyuan dan David Hinton, malah Hinton terang-terangan memecah puisi empat baris ini jadi dua kuplet.

Kesetiaan pada puisi asli menghasilkan terjemahan yang baik, dan puisi yang buruk. Ini maksim yang sering terbukti kebenarannya. Tapi apakah sebaliknya juga pasti benar, bahwa ketidaksetiaan akan menghasilkan puisi yang baik? Mungkin (Cathay). Mungkin tidak (beberapa terjemahan puisi klasik Tiongkok William Carlos Williams—mungkin karena dia baru mulai di umur 74 tahun). Mungkin juga baik-buruknya sebuah puisi terjemahan tidak ada hubungannya dengan kesetiaan pada puisi asli. Mungkin hanya kepenyairan penerjemahlah yang menentukan mutu puisi terjemahan. Titik.

“Rindu Malam” Zhou Fuyuan saya rasa, sebagai puisi Indonesia, walaupun gayanya kuno, nyaris berpantun, adalah puisi yang bahasa dan gambarnya bersih serta isinya menyentuh (sehingga kita lupa dengan bahasanya yang kedaluwarsa). Di dua larik pertama, yang sekilas seperti lampiran pantun, pembaca menjadi “aku” yang tiba-tiba terbangun, mungkin dari tidur (karena dia berada di dekat “pembaringan”), mungkin juga dari mabuk berat (kita tahu Li Bai seorang pemabuk ulung). Antara sadar dan tak sadar, “aku” bingung, cahaya putih itu, sinar purnamakah? Atau embun yang membeku? (Atau embun beku yang memantulkan sinar purnama?). Kebingungan, keraguan abadi manusia akan mana yang nyata dan tak nyata tergambar, terasa, sangat menggigit di sini. Kebingungan itu hilang setelah “aku” “tengadah” menatap bulan, tapi segera diganti dengan sesuatu yang lebih mengerikan: kesepian dan keterasingan. “Aku” teringat akan kampung halaman, jauhnya diriku dari situ, dan perkongsian antara ingatan dan kenyataan itulah yang memaksaku kelu “tertunduk”.

Semua ini jelas terasa, bahkan tanpa catatan kaki yang disediakan Zhou Fuyuan di akhir puisi ini (dan menyertai banyak puisi yang lain). Tanpa kita tahu bahwa “bulan yang sempurna menjadi simbol bersatunya keluarga.”

Bandingkan dengan “Samadi di Malam Sepi” Sapardi Djoko Damono. Satu lagi pengaruh imagisme di sini adalah nada baris-barisnya yang (dibuat) mirip percakapan (atau monolog kali ini). Puisi ini, kecuali judulnya, terasa modern. Tapi kenapa “aku” di sini “tertunduk … merenungi bumi”? Gambar di sini sangat jelas, sinematik, si aku menunduk menatap lantai di dekat cagak kasurnya, tapi, selain kenapa dia merenung (dan kelihatannya dia sudah lama merenung, “cahaya bulan” itu merusak renungannya, sekarang dia “kembali merenung”), apa yang dia renungkan, apakah bumi itu sendiri (yang dirajam pemberontakan An Lu-shan dan memaksanya melarikan diri?), atau sesuatu yang lain yang diwakili oleh kata “bumi” itu (mungkin dia sedang bersamadi tentang bumi sebagai bagian dari kosmos Zen Buddhisme)? Apakah Sapardi sedang mengikuti petuah Wei T’ai, kritikus jaman Dinasti Sung yang mengatakan, “Puisi menyuguhkan benda untuk membangkitkan perasaan. Secermat mungkin tentang bendanya dan sehemat mungkin tentang perasaannya”? Kalaupun ini benar, puisi Sapardi ini begitu hemat dengan perasaannya sehingga hampir tidak ada rasa yang tersisa. Puisi ini menjadi sebuah puisi simbolik yang memerlukan, ya, catatan kaki semacam yang disediakan Zhou Fuyuan untuk puisinya.

Selain catatan kaki, Zhou Fuyuan juga menyediakan kata pengantar berisi sejarah singkat puisi klasik (dan politik dinasti) Tiongkok, dua komentar dari Sinologis Leo Suryadinata dan (sudah saya bilang) Sapardi Djoko Damono sendiri, serta biografi singkat ”16 Tokoh Penyair Penting”. Semua itu mungkin tidak begitu perlu. Terjemahan-terjenahan di bunga rampai Purnama di Bukit Langit ini, seperti “Rindu Malam” tadi, adalah puisi-puisi Indonesia yang cukup kuat untuk berdiri sendiri.















Wednesday 1 August 2007

243 kartu pos bergambar (buat holiday)

langit2 merpati berembun. anak2 menempel dagu di pagar bandara. surfers australia berkaos bintang. belum ada orang2 berwajah melanesia. kirain bakalan udah banyak. pengen boker tapi toilet naudzubillahimindzalik. nanti aja di hotel/losmen/rumah penduduk. dvd 3 hari untuk selamanya udah keluar belum?

bima penuh kereta kuda. 'parkir khusus benhur'. charlton heston is big. angin besar. tai kuda kalau masuk mata bisa tetanus nggak ya? c u in a week.

banyak toko bernama 'arema'. 'restoran arema'. buffet. gak ada makanan yg 'khas bima'. mau cari insidal tanya ada apotik gak dekat2 sini? oh ada terus aja. jalan bisa? bisa. berapa jauh? paling dua kilo. ok, charlton. (toilet mungkin masih bisalah. tapi restoran. terlalu banyak traffic. terus terang, this town sux terus.)

bara memaksa mencari bir di kota yg katanya '99% muslim dan hanya 1% [ya iyalah mau berapa lagi you idiot] pendatang' ini. 'ada di warung yg sana. dekat apotik.' emh. tuh kan nggak ada. udah deh, it's a village, play the quaint game buddy. how can that stelivena girl afford to go to chile AND peru? FOR A WHOLE MONTH?

sepanjang bima-sape kering. seperti australia but smells like horseshit. it is horseshit. bring malaria tablets? what about a tetanus shot? (this tour guide guy i'm sure is totally dodgy. he's got weird eyes. like he's got cataracts. and it's gone to his brain. masa dia pesen kijang yg tempat duduk belakangnya hadap2an terus gue disuruh duduk di situ. BERSAMA SEMUA BACKPACKS KITA. wait for the bill from my chiro u asshole!)

di luar jendela mobil ada desa nelayan miskin, tambak hitam setengah kering berbau busuk, anak kecil main the undertaker v.the undertaker di dalamnya, jalan tanah campur apalagi kalau bukan tai kuda, oh no, it IS SAPE. mummy, why did i refuse yr bekal of mitu and antisss!

damn, aren't i clever? rumah penduduk it is. cheapskate. rumah panggung setengah di atas laut, correction, bungkus indomi, softex, kartu as. cek toilet. correction, lobang yg digergaji di lantai papan. paling tidak benar2 sudah di atas air. hmmm, begitu caranya. kamar mandi buat pipis masih di atas tanah/sampah, wc di atas air. biar bisa langsung hanyut. (tapi gak bakal kelihatan ini hitam gitu airnya.)

capek mengeluh. tempat jemur ikan di belakang rumah sebenarnya enak juga. panggung bambu seluas tiga lapangan voli. TIDAK sebau yg aku kira. semriwing amis ikan asin saja. pemandangan menjelang sunset. banyak burung gagak. burung GAGAK. teringat tony bourdain terkagum2 ttg rentetan adzan di sukabumi. kapal2 nelayan berderet sampai ke kaki langit. we're gonna be in one those mulai besok pagi jam 3. hiii. burung GAGAK.

makan malam hanya menganggu tiduran sambil menonton bintang yg muncul satu2 seperti atlit2 di upacara pembukaan olimpiade. we need a bigger stadium! wow. sabuk kabut bima sakti pun kelihatan. bintang jatuh. here's wishing for the pacific ocean.

tadi penduduk yg punya rumah itu membunuh seekor ayam putih (broiler?) dgn mengiris lehernya kemudian membiarkannya jumpalitan di pintu dapur sampai lemes. berarti nanti kalau masuk lagi ke rumah (lewat pintu dapur) harus hati2 biar gak nginjek darah. tapi tidak ada ayam di menu makan malam. hanya ikan. enak tapi walaupun sekali lagi, gak ada rasa 'bima'-nya (whatever that is, if i ever find out). ini sih sama aja dengan ikan bakar belakang sudirman. hanya jauh lebih fresh.

(oya, tadi sore sempat berkeliling sape dengan kijang. mencari tempat utk bekri. losmen mutiara? pearls are made of dirt. akhirnya, masjid al-hilal! 15 tahun tidak menginjakkan kaki ke rumah allah sekarang, assalamualaikum, toilet ada? nice shy bima boy, nanti kasih sedekah ah. teteskan air rahmat ke bak yg gelap—sudahlah—setengah berdiri, close yr eyes, think of amanjiwo.)

nice shy bima toilet boy sudah pergi, masuk ke masjid proper hanya ada mas2 tiduran bertelanjang dada (untung masih sarungan). isn't that makruh? nggak ada kotak sedekah. i live with guilt every day anyway. cabs.

di kamar 'pak haji' (sendiri, cewek2 di kamar sebelah). di atas lemari yg kosong (atau dikosongkan? pak haji suudzon!) ada koper vinyl tua berdebu. berlabel NAMA: MASLAH Bt. INGGI, NO KLOTER: 81, EMBARKASI: MATARAM, ALAMAT: DESA BUGIS KEC. SAPE KAB. BIMA INDONESIA.

tidur berkaus kaki dan bersyal ulos. TV keras di ruang tamu depan. laki2 bercakap. dinding hanya setengah, langit2 telanjang tanpa eternit. seperti ada TOA nempel di gendang telinga. ah sudahlah tinggal tiga jam ini. sebelum burung GAGAK.

dibangunkan tour guide who shall remain nameless while i'm preparing court briefs for his litigation, sikat gigi dengan aqua yang diludahkan ke satu lagi lubang di lantai dapur. seragam: sendal jepit daimatu (it's back!), celana pendek kegedean yg melorot jadi 3/4 merek bonds, kaos oblong sonic youth goo, cardigan rajutan benang katun custom made, topi nelayan merek mambo (model's own), syal martha ulos (gift from model's girlfriend).

kapal kita sepanjang pohon kelapa. atap terpal oranye dan biru. lebar cukup untuk berbaring dengan kaki lurus. kukira kita akan naik/meloncat turun dari panggung tempat jemur ikan di belakang. tapi ternyata kita keluar rumah dan jalan ke arah pelabuhan. bulan setengah. sekumpulan lelaki bersarung di dalam bus yang berhenti. burung GAGAK. auman serigala di balik bukit. oh no that was just my heart.

seratus meter sebelum pelabuhan kita belok kiri ke samping satu lagi rumah panggung. kapal menunggu di belakangnya. mungkin saat yang tepat untuk bilang burung GAGAK, eh, sayonara.

laut kemericik. aku berdiri di anjungan melihat ke depan. quicksilver membuat laut seperti loyang perak. dingin. balik ke dalam, selimutan sarung batik. antimo? don't be paranoid. times like this you wish you've signed up for twitter.

laut MENGGELORA. not funny. ninik di sebelahku minta antimo. i took two. tried to sleep. thought about amazing i shouldn't be alive! episodes starring me. how long do i have to float in the open sea before a dolphin escort me to the national geographic channel?

laut FUCKING INSANE. i'm gonna sue that guy's ass. dolphin or no dolphin.

said guy screamed out 'sunrise!' whatever. i'm all wet. bibirku terasa seperti ladang garam. mencoba bergerak tetapi rasanya seperti dipocong ketat gara2 antimo tadi. sempat menyingkap terpal sedikit utk melihat said sunrise. seperti telur muntup2 mau keluar dari pantat ayam. totally underwhelming.

bangun karena kapal berhenti. atau kakiku beku kedinginan. tapi wow. laut tenang seakan mengejek, seperti anak kecil yg pura2 bloon padahal habis ngemplang jajanan. fuck you. you are beautiful. kita di tepi sebuah pulau gersang. jangkar lepas kira2 dua metro mini dari pantai kerakal putih dengan pohon2 meranggas berdahan njelimet seperti di foto2 album band black metal. serasa di islandia tapi ada mataharinya. laut hijau gelap tapi transparan (memang aneh). nyebur. serem, karena laut begitu tenang, tapi aku tak percaya lagi padanya. kata ardin, salah satu anak buah kapal yang semuanya selalu bersembunyi di dok belakang, pulau ini yang paling angker (unk-care) di antara semuanya. namanya gili banta.

cabs setelah melongo melihat tebing berumput coklat yang menjulang di belakang pantai kerakal tadi. kosong. tidak ada manusia lain selain kita bersebelas di kapal reyot ini.

pulau tadi begitu beda dengan pulau2 di sumatra/jawa/bali/lombok bahkan sumbawa 6 jam yang lalu. christ. six hours in that kora-kora. kering kerontang. warnanya itu lho. seperti tiba-tiba lupa ijo royo-royo itu seperti apa. begitu total perubahannya. warnanya mungkin di tengah2 antara es krim mocca murahan dan you've guessed it, tai kuda kering.

i'm sort of happy. i like seeing something that doesn't look like java. even if it's the colour of horseshit.

i guess it sort of makes me feel like there's a point all these islands are strung together into one country. i don't know if it's good or bad, right or wrong. right now, with the sun shining, god forgetting to paint clouds in the electric blue sky, the air so clean i wish i can bottle it like zam zam water, everything else is horseshit.

there are actually many of these islands. big ones. small ones. we sail close to the shoreline so we can make out things. a single tree on an otherwise completely bare hillside that my girlfriend said looks like the new cover i chose for raumanen. the face of a hill that actually looks like a face because the little trees and shrubs that managed to survive in this god-forsaken climate (it's so dry!) conspire to draw two eyes, a nose and a mouth (unk-care!).

it was like this for three hours. it was like watching lord of the rings (oh no! not another magnificent wellington landscape!), i got bored and went to sleep but kept waking up and everytime i got up and looked some more at more islands that look almost exactly the same as the last one. it was like groundhog day for discovery t&l addicts. it was heaven.

just when i started to worry how on earth are they going to work out which island is komodo island, annoying tour guide guy screamed out, (he always screams) 'loh liang!' which from where we were looked like a dark patch on one end of a long stretch of white sand.

(end of batch #1)