Sunday, 26 August 2007

royal faluda

suatu malam sehabis nonton pan's labyrinth aku duduk bersama pacarku di kursi bar di komala's

dia memesan baby faluda, aku teh chai

dan kita ngobrol wek wek wek dua jam-an tentang salesman setengah baya, ibu-ibu india yang menjepit bawang bombay mentah dengan ujung jarinya, dan brondong-brondong di oh la la di seberang yang mencoba menyembunyikan cardigan murahan mereka di balik

tawa.

kita tertawa ha ha ha dan dia menggodaku kenapa begitu gampang menangis menonton pan yang berkulit kayu dan berbau tanah, dan aku menggodanya kenapa daya kritisnya hilang begitu nama gael garcía bernal muncul di layar.

'tapi kan tadi tidak ada gael garcía bernal?'

ha ha ha ha ha. 'kukira tadi sutradaranya juga benicio del toro!'

selagi mencengkeram perutku yang tegang tertawa

aku ingat waktu aku umur 10 tahun, duduk di atap rumahku di badran, jogja

menonton rumpun, gepeng, asep, githil, lilik, mas kelik, dan trio

membela gawang rt 6 dari serangan ganas nanang, bomber rt 12

buku pspb kelas empat terbitan tiga serangkai di pangkuanku

gambar jenderal oerip soemohardjo dengan epaulet-nya yang tak sempat disetrika

dan tangan yang menuding entah kopral siapa

di halaman 42.

besok ulangan.

waktu itu faluda hanya nama tante yang naik haji baru sekali tapi sudah lima kali umrah

(karena angka ganjil dikasihi allah)

dan chai, aku yakin waktu itu aku belum tahu ada sesuatu di dunia yang bernama seperti itu

ada kasti, ada gobag sodor, ada benthik, ada dhelikan, ada lèk lèk-an,

tapi belum ada chai.

sekarang pacarku menusuk-nusuk baby faludanya yang tinggal sepertiga, mencari vermicelli yang mungkin sembunyi di balik air susu yang putih seperti hatinya,

dan aku memutar-mutar sendok di teh chai-ku, memecah kerak lemak yang menggumpal di permukaannya:

waktu itu, juga belum ada dia.

No comments:

Post a Comment