Monday 28 May 2007

IN JAKARTA, DAAR IS PAS CULTUUR!

Pada suatu malam aku pergi ke Kota untuk menonton sebuah festival
wayang. Di situ aku melihat bayang-bayang Inul dan pantatnya yang
ngebor, diiringi dram TAMA, gitar YAMAHA, dan bas yang tak jelas
mereknya apa. Blencong di situ telah dilistrikkan tapi apa daya PLN
benci peristiwa budaya yang listriknya suka ngemplang, yang disubsidi
pula dan sudah seratus tahun kemurahan. Byar! Pet! Exeunt anak-anak
kecil yang menangis dan ingusan dan orang tua-orang tua yang kelelahan.

Aku sendiri menumpang Kangjeng Kyai Garudo Yekso ke Galeri Nasional yang
tengah malam pindah ke Matraman. Duduk mepet di kanan dengan kaki
disilangkan, biar tersisa tempat untuk Ratu Kidul yang suka kangenan.
Galeri sudah tutup jadi tak ada yang bisa kulakukan kecuali santai saja
berjalan menembus dindingnya yang sudah lama tak dibersihkan. Di dalam
selasar pameran yang penuh bau cu ada kulit kuda yang menggembung jadi
bantal, kubus mulus berisi dua gadis di sebuah taman impian, dan OK,
video instalasi yang sumpah begitu membosankan.

Aku terbang saja ke sebuah teater bawah tanah yang biasanya dibuka
dengan menggebuk gong di depan. Penggebuk gongnya sudah lama pulang jadi
aku gebuk saja sendiri, DONG! Di dalam anak-anak kinclong telah
berdesakan. Puisi-puisi yang dibacakan, pembacaan yang dipuisi-puisikan.
Seorang buruh iklan berkaos Belle & Sebastian menggelincir zig-zag di
lantai yang hitam berkilauan. Mungkin dia hanya ingin berjalan di tempat
sambil memberi hormat tapi apa daya lantai itu telah menjelma jadi
danau es dan teater itu menyuguhkan komedi romantis kacangan. Sajak itu begitu
membosankan, kaki-kaki itu melesat begitu menakjubkan!

Kupinjam saja kakinya untuk berselancar ke Kelapa Gading. Kompleks ruko
yang penuh dengan tempat pelacuran, dan satu studio post-production
penuh laki-laki yang belum pernah pacaran. Di situ mereka sedang
mengedit sebuah film "yang membicarakan secara terbuka seks dan
obat-obatan di kalangan post-adolescence [italics not mine] dan tanpa
penghakiman." HAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHA! BAHKAN KUTIPAN INIPUN BERRIMA MURAHAN! Not to mention ditulis dengan semangat baja mendukung industri film sebuah negeri antah-berantah yang seperti Indonesia tapi bukan Indonesia. Yang berantakan. HAHAHA! Oke deh Eric-san!

Aku pikir sekarang bagaimana kalau mengakhiri subuh dengan menonton di
megaplex yang penuh dengan ABG-ABG setan? Ide bagus teman! Let me see,
di situ ada satu film Kim Ki-duk yang mengharukan dan enam ratus enam
puluh enam film horor Thailand. So much for your promise of
enlightenment thou grand bourgeois tenant! Jariku mengambang di atas
layar touchscreen yang menawan, lalu kupencet hidung si usher yang
menyebalkan.

Setelah merapel turun ke lantai bawah secara menunggu lift di Grand
Antah-Berantah ini bakal selalu kelamaan, aku mengobati kepala yang
pening karena terlalu banyak kebudayaan dengan secangkir maKKhiato
doppio yang dikoreksi si barista menjadi maCChiato, strong coffee lho!
Ya, itu satu, dan satu kursus kilat bahasa Itali dengan Profesor Ostelio
Remi di Instituto Kuningan! To go!

Kenapa, JKT KDG-KDG BGT MNYBLKN? Kenapa pagi yang mekar seperti kelopak-kelopak
mawar harus dibungkus halaman-halaman sastra koran? Kenapa Minggu ini
persis sama dengan Minggu kemarin dan Minggu depan? Kenapa heran? Kalau
UNESCO tak keberatan, Borobudur pun akan mereka pindah ke Sudirman. Aku
yang philistine, atau memang Hasif et al. yang sialan?

Monday 21 May 2007

WHAT GOT ME THROWN OUT OF SINEMA INDONESIA THANK CHRIST

halo melissa,

kalau memang topik artikelmu "those who can't, teach" yah mungkin seharusnya jawaban gue tadi adalah justru itu masalahnya, banyak kritikus film Indonesia (bukan sinemaindonesia!) yang menggunakan tempat yang disediakan untuk mereka untuk itu tadi "teach", benar2 menggurui. di review leila s. chudori tentang banyu biru di tempo misalnya, dia panjang lebar menjelaskan sejarah magic realism itu apa dan bagaimana (yang mungkin juga cuma dia google aja). itu tidak perlu. kritik2 eric sasono juga misalnya yang menang piala dkj untuk kritikus terbaik, walaupun lebih dalam mencelupkan penanya dalam isi film itu sendiri tetap saja sering membahas panjang lebar tentang teori2 film textbook yang seharusnya tidak muncul di halaman2 untuk pembaca umum. tapi ini mungkin ada hubungannya dengan sejarah halaman2 review dalam media2 indonesia yang memang sudah dari dulu ditongkrongi oleh teoris2 garing.

menurut gue tugas seorang kritik adalah pertama menganalisa. seperti kamu bilang tadi, seniman berjiwa halus etc. dan menggunakan perasaan untuk berkarya. nah, tugas kritiklah untuk menggunakan otaknya dan memeriksa, perasaan macam apa yang coba dituangkan oleh si sutradara/penulis scenario/sinematografer etc. dalam filmya dan apakah berhasil. apakah ada ambivalensi antara apa yang ingin dia utarakan dan apa yang akhirnya berhasil dia utarakan? atau mungkin juga dia berhasil mengatakan sesuatu yang tidak ingin dia utarakan? secara tidak sadar?

banyu biru itu misalnya. perasaan yang ingin disampaikan di situ kelihatannya simpel saja bukan, tora sudiro merasa dibuang oleh bapaknya slamet rahardjo, kenapa? terus kemudian apa perlu tora melakukan road trip bertemu berbagai karakter yang nggak jelas siapa dan apa maksudnya sebelum dia berhasil ketemu bapaknya? kalau misalnya poinnya adalah betapa susah mendapatkan penjelasan dari seorang bapak, apa memang mengungkapkannya dengan cara begitu, memusingkan jalan menuju kepadanya, adalah jalan yang paling efektif? atau sebenarnya semua itu hanya untuk memuaskan ambisi magic realist rayya makarim dan teddy surya?

kritik juga sebuah karya juga. jadi jelas, pasti dia akan berusaha untuk bercantik2 juga, kalau di sinemaindonesia mungkin kadang2 ada godaan untuk menulis jokes hanya karena ada adegan di sebuah film yang memberi kesempatan untuk membuat jokes itu. ini jangan dianggap terlalu seriuslah. kan itu juga sebuah gaya kritik tersendiri yang memang tidak terlalu banyak ada di media besar Indonesia, aneh juga, seakan2 begitu kita menulis buat kompas atau tempo kita harus garing, padahal lihat saja anthony lane dan david denby di the new yorker atau mark steyn di the spectator atau joe queenan di mana2. dan jangan lupa, kritik2 film lama di Indonesia jaman dulu oleh umar kayam, usmar ismail, asrul sani, etc.

menurut gue kemunculan sinemaindonesia sendiri alami saja. musik sudah lama punya deathrockstar, buku/sastra sudah banyak sekali dibahas di berpuluh2 milis, film pun sempat punya layarperak.com, walaupun ini kelihatannya akhirnya diisi oleh penulis2 yang ditolak di kompas. (saking seringnya menulis di layarperak, eric sasono akhirnya ditarik juga untuk menulis di kompas oleh editor filmnya, jb kristanto yang menulis katalog film Indonesia.)

kelihatannya semua bentuk seni di Indonesia sekarang sedang lahir kembali, musik indie, film indie, sastra indie, whatever, natural selection juga, banyak seniman2 tua yang baru saja mati, pramoedya, mochtar lubis, dan tentu yang sudah lama tidak produktif tapi kok ya nggak mati2 juga. dan tentu saja pas saat2 seperti sekarang banyak salip2an antara seniman tua yang nggak mau nyerah dan seniman2 muda yang ingin memaksa mereka untuk nyerah (atau mati).

kritik film di tempo dan kompas masih didominasi nama2 lama, leila s., akmal ns basral (yang walau namanya baru tapi sudah tua), jb kris, baru eric sasono aja yang agak muda walaupun gayanya cukup tua. masalahnya, beberapa film2 indonesia sekarang ini, contoh yang paling bagus realita, cinta etc., mulai dibikin oleh anak2 dari angkatan yang lebih muda. yang besar dengan menonton dvd2 bajakan, bukan cuma film2 hollywood di 21. bisakah leila s. menikmati realita, cinta, etc.? bisa saja, ya, tapi sedekat apakah dia pada dunia realita, cinta & rocknroll anak2 muda itu? contoh satu saja, rambut vino g dan the other guy, mungkin leila s. akan melihatnya sekedar sebagai 'rambut punk anak muda' sementara kita mungkin bisa lebih asyik berspekulasi apa mereka potong di firman atau potong sendiri di tangga belakang parc?

film juga kan bentuk seni yang paling merakyat, tidak semua orang sempat setiap kamis malam ke thusrday riot tapi hampir (hampir) semua orang di indonesia pada akhirnya akan punya kesempatan untuk menonton ya contohnya realita cinta etc. tadi. makanya di message board sinemaindonesia bisa dilihat orang2 dari berbagai macam daerah, tidak terlalu jakarta sentris misalnya dibandingkan dengan deathrockstar yang jakarta-bandung pp. saja, dan itu masalahnya sederhana, band tidak bisa bergerak secepat film.

sinemaindonesia juga bagus karena kelihatannya penulis2nya berusaha untuk tidak terlibat dalam industri film itu sendiri. seharusnya begitu. sederhana saja, supaya tidak ada kesungkanan atau kenggakenakan harus mengkritik teman sendiri. ini problem lama di Indonesia, bukan hanya dalam kritik film. di buku katrin bandel, sastra, seks dan perempuan, ada esei bagus tentang bagaimana kritik sastra yang diterbitkan di koran2 indonesia biasanya juga ditulis oleh sastrawan2, paling tidak orang2 yang memang gaul dengan sastrawan2 yang dikritiknya. yang menimbulkan dua problem, ada godaan besar untuk jadi tidak obyektif, baik untuk memaki2 lawan maupun memuji2 kawan, dan obrolan2nya jadi insular banget sehingga sulit dimengerti pembaca biasa yang nggak tertarik2 amat mengikuti hubungan pribadi di antara mereka tapi ingin tahu buku baru itu bagus atau nggak atau paling tidak seperti apa kira2 sesuai dengan seleranya atau tidak. kritik film juga spt ini. eric sasono juga membuat film pendek, leila s. menulis ftv dan terlibat di lentera merah kalau nggak salah, etc. bahkan kritikus film yang diam2 bagus, garin nugroho sendiri, bisa dibilang adalah salah satu sutradara terbaik yang pernah muncul dari ikj. sementara misalnya di prancis thn 60-an sutradara2 nouvelle vague dikritik di cahiers du cinema dan beberapa dari kritik itu, andre bazin misalnya (dibahas di film animasi richard linklater waking life) tak pernah membuat film tapi teori2 dan kritiknya, misalnya tentang total cinema atau kritik yang simpatik (yang mengkritik sebuah film sebaiknya kritik yang cukup suka film itu) diakui sangat membantu kerja sutradara2 tadi.

makanya gue kemarin mungkin keceplosan ngomong bahwa sinemaindonesia itu adalah suara rakyat. sebenarnya mungkin tidak terlalu baik menganggapnya begitu. beberapa reaksi dari pembuat film tentang sinemaindonesia kelihatannya menunjukkan bahwa mereka memang menganggap sinemaindonesia itu sebagai gerundelan penonton yang nggak pernah puas saja dan mereka bahkan merasa tidak perlu membacanya (katanya riri riza bilang begitu). kalau memang begitu betapa menyedihkan! bacalah review2nya. gue rasa hampir semua review2 di sinemaindonesia cukup cerdas menganalisa apa kelemahan dan kelebihan film2 akhir2 ini. dan jujur. mungkin kalau miles&co. membaca sinemaindonesia dan apa yang sering kita keluhkan tentang kecenderungan jelek film2 yang mencoba bercerita tentang kehidupan anak muda, mereka tidak akan menghasilkan garasi. i mean, kalau sampai riri riza merasa tidak perlu membaca kritik tentang garasi, wah, delusional sekali.

jadi menurut gue kritik adalah pekerjaan serius. justru mungkin tidak seharusnya dilakukan oleh 'those who can't make movies', karena yang kaya gini seperti yang bisa dilihat juga di message board sinemaindonesia cenderung mempermasalahkan hal2 nggak penting seperti boom bocor, kalibrasi warna yang kurang apalah. justru mungkin sebaiknya dilakukan oleh orang2 yang ambisi terbesarnya dalam hidup ini cuma menonton bulan tertusuk ilalang di wijaya 21 kursi j15.

p.s. gue nggak suka dengan pembaca2 yang bilang di message board si "wah makasih si, untung gue sebelum nonton baca si dulu, ngak jadi buang duit deh, thanks!" tidak dibodohi oleh review2 menyanjung ala leila s. tidak berarti terus langsung percaya aja review lain. itu sih jadi sama bodohnya. mungkin itu justru kenapa orang kadang2 takut dengan review2 sinemaindonesia, karena mereka malas mikir sendiri dan takut orang2 lain juga begitu. padahal kan nggak semuanya begitu juga.


jakarta, 20 something and 5

O, Y Control


Tiba-tiba aku ingin menulis tentang Banda Aceh. Tentang debu yang beterbangan, kantong plastik dingin berisi ikan, dan muadzin yang bertengkar di jalanan. Who can control what you think, man?

Tentang tiga jam di kedai kopi yang berisi pria-pria tua bersafari, seorang backpacker lokal yang ragu-ragu mencomot roti kaya dari piring plastik, dan pasangan yang menjaga jarak di bangku depan. Why control, man?

Sebenarnya banyak yang ingin kutulis long weekend ini, tentang Paris, Je T’Aime yang biasa-biasa saja kecuali cerita tentang Miranda Richardson bermantel merah dan seorang Daniel Auteuil lookalike yang,

Ingin kujelaskan padamu, itu semua karena di mataku semua aktor Prancis tampangnya seperti Daniel Auteuil. Mereka semua memang Daniel Auteuil. Tentang Wicker Man yang mengejutkan, dan 3-Iron yang,

Ingin kuteriakkan pada semua orang, puts all these nouvelle crap Indonesian movies to shame. Simple as. Tentang trailer 3 Hari Untuk Selamanya yang kampungan. Tentang Jakarta yang,

Dibanding Seoul paling tidak, masih sebuah desa yang ramah dan penuh orang. Sulit untuk menjadi sendiri di megalopolitan yang kerdil ini. Tentang pintu-pintu terkunci yang ingin kau masuki dan pintu-pintu yang kau kunci

Dan dalam hati kau mengharap, suatu hari kau akan meminta seseorang untuk membuat duplikat kuncimu di warung Stempel Ujang. Semuanya ini runtuh seperti tebing di Puncak Pass dan yang tersisa sekarang hanya

Ini, sebuah keinginan untuk mengingat tentang kota dengan jalan-jalan lebar, menahan pintu labi-labi dengan dengkul yang memar, dan berjalan-jalan sendiri di selasar pasar. Jadi untuk apa menunggu?

Apakah ada gunanya berpikir apakah ada gunanya bertanya apakah ada gunanya menulis semua ini seperti Afrizal? Dia selalu menulis tentang ikan, sesuatu yang meledak dalam badan, dan buah-buahan yang berair

Di mata pacar. Mungkin aku seharusnya mencukur habis rambutku, supaya ide-ideku bisa keluar, tidak mampat di selokan. Selokan di dalam kepalaku tentu, yang bermuara di telinga, sehingga sering becek waktu kau masukkan

Kelingkingmu ke lubangnya. Seperti itu. Mungkin benar adanya apa yang dikatakan bosku malam yang syahdu, paling tidak untukku, itu. Omonganmu terlalu sering nyebrang, dan itu hanya membuang waktu. Kalau dia salah,

Tentu sekarang halaman ini sudah penuh dengan debu yang beterbangan, kantong plastik dingin berisi ikan, dan muadzin yang bertengkar di jalanan. You need control man.






Sunday 13 May 2007

Why was Energy so listless, Jim?



“Tekun download dan CD-R
Ruang sempit tiga kali empat
Lorong kelas di kala malam”

“Tanpa house music hey na na na
Bukan break beat fa fa fa fa”

“Hanya Aku, musik dan lantai
Kita pun bergembira [pertimbangkan kembali, siapa ‘kita’?]
Sumpah gembira

Pestapora Pestapora [pertimbangkan lagi, siapa sekarang berpestapora?]
Dan kau tak diundang
Tak diundang”

“Suasana disana meriah
Dengan dj, musik berdansa
Pengeras suara
Kudapati bintangnya malam
Di tepi mereka [italics mine]


Aku kan segera di sana
Bukan untuk berdansa”

“Semua tenang
Hingga tanpa suara terdengar


Hingga suasana heningnya”

“Tak guna antrian panjang
Apalgi hanya popcorn yang mahal
Karena kita gembira
Bermodal awal lima ribuan
Kan ku ajak kau dara
Menyaksikan tutur gambar di rumah
Bertumpuk keping bajakan
Masih sempatnya kita berwacana”

“Ruang gemerlapan yang hingar bingar
Namun berat kaki terhadap nada


Apa ku ada di mars
Ataukah mereka mengundang
Orang Mars

Apakah aku ada di Mars
Atau mereka mengundang
Orang Mars”

(kemudian Jimi
menutup pintu kos
dan mulai berhikikomori.
)





Thursday 10 May 2007

Why I suck at this ritin biz:



What was your favourite book as
a child?



the little house series. we lived in a small town in java called madiun.
no we lived in a village on the outskirts of that city. my mother was a GP, the
only one in a radius of what seemed like the distance between our tiny doctor’s
house and the moon. when we think of her in those days my brother and i both
have visions of the queues in front of her clinic. but she sent us to a good
school in the city and no she didn’t do this everyday but we’d go to this
stationery store in the central market which was also a bookstore (in our
country a bookstore is always already a stationery store) whenever my mother
found out that the latest installment in the series had been translated and
published by this old christian publisher. we’ve never worked out how my mom
found out that the newest title had arrived but soon she didn’t have to anyway
because we’d no i, my brother didn’t like them, would pester her into going to
the store almost everyday. the newest title used to be kept in a tall glass
cabinet along with fake parkers in their velvety fountain pen coffins. propped
up with black wooden picture frame holder. i think the whole series took about
five years to come out, roughly the time from when i first learned how to read
to when we had to leave the city. we lost all the books, each of which except
the later spin-offs that were written by laura’s daugthers and grand- i’ve
reread maybe 324 times. my favourite stories were laura finally getting the
minx coat that was at the top of the collective xmas tree during that long
winter and pa’s escape from the hungry puma in the big woods. oh and how laura
repeatedly tells us that pa used to be able to fit ma’s waist within the span
of his hands. used to be able to. no need to tell you i hate michael landon’s
version of pa. where’s the fuckin beard? i used to try to superimpose the
(bearded) face of the guy who played mr. edwards onto mr. landon’s
marble-smooth monstrosity. and that journey hair!!! a couple of years ago i
tried to get the complete series again and went to the publisher’s HQ office/store
in the city where we now live. the books had just been rereleased with new
horrible covers, grey newspaper papers that look like they’d dissolve in whatever
liquid you accidentally pour upon them, and a uniform, smaller size that's too small even for children’s hands. the books were kept in the sunday school
section upstairs. so that’s why. mary and laura walking to their sunday school
in their sunday dresses, their good shoes, and the millions of indonesian
children running after them.





When you were growing up did you have books in your home?



like mumu, maybe not as many books as magazines. we subscribed to three,
femina, tempo and hai. bobo used to be a femina supplement. bimba in kartini.
donald duck comics. sometimes you could still see the original dutch text under
the indonesian translation. how’s that for a palimpsest mr. vidal! playboys,
penthouses and hustlers my mother kept in the bottom shelf of her clothes
drawer. i learned this language in penthouse forum. the story of the girl with
the mini vagina. madonna, june 1985. the month i was born. oh i also read my
mother’s medical textbooks, that had this creepy pencil sketch of a pregnant
woman who looked about 12. the sequence shots of a baby’s head boring through
his mother’s cunt. the kriminal stories in tempo. jurnalisme sastrawi? eat shit
andreas harsono! balada si roy.
(too many fights to be a real ballad for me.) this was when we lived in madiun.
later i had stop (that scene where they swam naked in a lake and the guy who
had a crush on the only girl in the team swam under water. they were germans.),
trio detektif, lima sekawan (lidah for bacon!), malory towers (lacrosse!), and
then pramoedya. that was when the fun stopped.





Was there someone that got you interested
in writing?



no. maybe john updike? or nicholson
baker. no one in real life.





What made you want to write when you were starting out?



i don’t think i ever had a moment
in my life that i can identify as a ‘starting out’ moment. i haven’t even done
it yet!





Do you find writing easy?



fuck no. it gets harder everyday.
it’s scary. i guess you just never know if what you write is important or any
good. or how you wrote that particular piece (of shit) or this. you accumulate
craft, sure, but the more craft you have the worse your longing is for the kind
of magic that you had when you wrote as a kid. how the fuck did i do that
treatise on ‘the day you took the sky out of my eyes’? genius.





What makes you write now?



part therapy, part megalomania.





How do you write?



at the office in between day-long yahoo! messenger conversations, late
(from about 10 p.m.) at home in between downloading porn.





How do you survive being alone in your work so much of the time?



what a stupid question. i never get the time to be ‘alone so much of the
time’.





What good advice was given to you when you were starting out?



‘put your name down after the title.’





What advice would you give to
new writers?



‘live.’





Anything else?



you’ll never feel like you’re good enough. there are times when you know
you’re the smartest person in the world. reconcile those feelings.





What are you working on?



my life.