halo melissa,
kalau memang topik artikelmu "those who can't, teach" yah mungkin seharusnya jawaban gue tadi adalah justru itu masalahnya, banyak kritikus film Indonesia (bukan sinemaindonesia!) yang menggunakan tempat yang disediakan untuk mereka untuk itu tadi "teach", benar2 menggurui. di review leila s. chudori tentang banyu biru di tempo misalnya, dia panjang lebar menjelaskan sejarah magic realism itu apa dan bagaimana (yang mungkin juga cuma dia google aja). itu tidak perlu. kritik2 eric sasono juga misalnya yang menang piala dkj untuk kritikus terbaik, walaupun lebih dalam mencelupkan penanya dalam isi film itu sendiri tetap saja sering membahas panjang lebar tentang teori2 film textbook yang seharusnya tidak muncul di halaman2 untuk pembaca umum. tapi ini mungkin ada hubungannya dengan sejarah halaman2 review dalam media2 indonesia yang memang sudah dari dulu ditongkrongi oleh teoris2 garing.
menurut gue tugas seorang kritik adalah pertama menganalisa. seperti kamu bilang tadi, seniman berjiwa halus etc. dan menggunakan perasaan untuk berkarya. nah, tugas kritiklah untuk menggunakan otaknya dan memeriksa, perasaan macam apa yang coba dituangkan oleh si sutradara/penulis scenario/sinematografer etc. dalam filmya dan apakah berhasil. apakah ada ambivalensi antara apa yang ingin dia utarakan dan apa yang akhirnya berhasil dia utarakan? atau mungkin juga dia berhasil mengatakan sesuatu yang tidak ingin dia utarakan? secara tidak sadar?
banyu biru itu misalnya. perasaan yang ingin disampaikan di situ kelihatannya simpel saja bukan, tora sudiro merasa dibuang oleh bapaknya slamet rahardjo, kenapa? terus kemudian apa perlu tora melakukan road trip bertemu berbagai karakter yang nggak jelas siapa dan apa maksudnya sebelum dia berhasil ketemu bapaknya? kalau misalnya poinnya adalah betapa susah mendapatkan penjelasan dari seorang bapak, apa memang mengungkapkannya dengan cara begitu, memusingkan jalan menuju kepadanya, adalah jalan yang paling efektif? atau sebenarnya semua itu hanya untuk memuaskan ambisi magic realist rayya makarim dan teddy surya?
kritik juga sebuah karya juga. jadi jelas, pasti dia akan berusaha untuk bercantik2 juga, kalau di sinemaindonesia mungkin kadang2 ada godaan untuk menulis jokes hanya karena ada adegan di sebuah film yang memberi kesempatan untuk membuat jokes itu. ini jangan dianggap terlalu seriuslah. kan itu juga sebuah gaya kritik tersendiri yang memang tidak terlalu banyak ada di media besar Indonesia, aneh juga, seakan2 begitu kita menulis buat kompas atau tempo kita harus garing, padahal lihat saja anthony lane dan david denby di the new yorker atau mark steyn di the spectator atau joe queenan di mana2. dan jangan lupa, kritik2 film lama di Indonesia jaman dulu oleh umar kayam, usmar ismail, asrul sani, etc.
menurut gue kemunculan sinemaindonesia sendiri alami saja. musik sudah lama punya deathrockstar, buku/sastra sudah banyak sekali dibahas di berpuluh2 milis, film pun sempat punya layarperak.com, walaupun ini kelihatannya akhirnya diisi oleh penulis2 yang ditolak di kompas. (saking seringnya menulis di layarperak, eric sasono akhirnya ditarik juga untuk menulis di kompas oleh editor filmnya, jb kristanto yang menulis katalog film Indonesia.)
kelihatannya semua bentuk seni di Indonesia sekarang sedang lahir kembali, musik indie, film indie, sastra indie, whatever, natural selection juga, banyak seniman2 tua yang baru saja mati, pramoedya, mochtar lubis, dan tentu yang sudah lama tidak produktif tapi kok ya nggak mati2 juga. dan tentu saja pas saat2 seperti sekarang banyak salip2an antara seniman tua yang nggak mau nyerah dan seniman2 muda yang ingin memaksa mereka untuk nyerah (atau mati).
kritik film di tempo dan kompas masih didominasi nama2 lama, leila s., akmal ns basral (yang walau namanya baru tapi sudah tua), jb kris, baru eric sasono aja yang agak muda walaupun gayanya cukup tua. masalahnya, beberapa film2 indonesia sekarang ini, contoh yang paling bagus realita, cinta etc., mulai dibikin oleh anak2 dari angkatan yang lebih muda. yang besar dengan menonton dvd2 bajakan, bukan cuma film2 hollywood di 21. bisakah leila s. menikmati realita, cinta, etc.? bisa saja, ya, tapi sedekat apakah dia pada dunia realita, cinta & rocknroll anak2 muda itu? contoh satu saja, rambut vino g dan the other guy, mungkin leila s. akan melihatnya sekedar sebagai 'rambut punk anak muda' sementara kita mungkin bisa lebih asyik berspekulasi apa mereka potong di firman atau potong sendiri di tangga belakang parc?
film juga kan bentuk seni yang paling merakyat, tidak semua orang sempat setiap kamis malam ke thusrday riot tapi hampir (hampir) semua orang di indonesia pada akhirnya akan punya kesempatan untuk menonton ya contohnya realita cinta etc. tadi. makanya di message board sinemaindonesia bisa dilihat orang2 dari berbagai macam daerah, tidak terlalu jakarta sentris misalnya dibandingkan dengan deathrockstar yang jakarta-bandung pp. saja, dan itu masalahnya sederhana, band tidak bisa bergerak secepat film.
sinemaindonesia juga bagus karena kelihatannya penulis2nya berusaha untuk tidak terlibat dalam industri film itu sendiri. seharusnya begitu. sederhana saja, supaya tidak ada kesungkanan atau kenggakenakan harus mengkritik teman sendiri. ini problem lama di Indonesia, bukan hanya dalam kritik film. di buku katrin bandel, sastra, seks dan perempuan, ada esei bagus tentang bagaimana kritik sastra yang diterbitkan di koran2 indonesia biasanya juga ditulis oleh sastrawan2, paling tidak orang2 yang memang gaul dengan sastrawan2 yang dikritiknya. yang menimbulkan dua problem, ada godaan besar untuk jadi tidak obyektif, baik untuk memaki2 lawan maupun memuji2 kawan, dan obrolan2nya jadi insular banget sehingga sulit dimengerti pembaca biasa yang nggak tertarik2 amat mengikuti hubungan pribadi di antara mereka tapi ingin tahu buku baru itu bagus atau nggak atau paling tidak seperti apa kira2 sesuai dengan seleranya atau tidak. kritik film juga spt ini. eric sasono juga membuat film pendek, leila s. menulis ftv dan terlibat di lentera merah kalau nggak salah, etc. bahkan kritikus film yang diam2 bagus, garin nugroho sendiri, bisa dibilang adalah salah satu sutradara terbaik yang pernah muncul dari ikj. sementara misalnya di prancis thn 60-an sutradara2 nouvelle vague dikritik di cahiers du cinema dan beberapa dari kritik itu, andre bazin misalnya (dibahas di film animasi richard linklater waking life) tak pernah membuat film tapi teori2 dan kritiknya, misalnya tentang total cinema atau kritik yang simpatik (yang mengkritik sebuah film sebaiknya kritik yang cukup suka film itu) diakui sangat membantu kerja sutradara2 tadi.
makanya gue kemarin mungkin keceplosan ngomong bahwa sinemaindonesia itu adalah suara rakyat. sebenarnya mungkin tidak terlalu baik menganggapnya begitu. beberapa reaksi dari pembuat film tentang sinemaindonesia kelihatannya menunjukkan bahwa mereka memang menganggap sinemaindonesia itu sebagai gerundelan penonton yang nggak pernah puas saja dan mereka bahkan merasa tidak perlu membacanya (katanya riri riza bilang begitu). kalau memang begitu betapa menyedihkan! bacalah review2nya. gue rasa hampir semua review2 di sinemaindonesia cukup cerdas menganalisa apa kelemahan dan kelebihan film2 akhir2 ini. dan jujur. mungkin kalau miles&co. membaca sinemaindonesia dan apa yang sering kita keluhkan tentang kecenderungan jelek film2 yang mencoba bercerita tentang kehidupan anak muda, mereka tidak akan menghasilkan garasi. i mean, kalau sampai riri riza merasa tidak perlu membaca kritik tentang garasi, wah, delusional sekali.
jadi menurut gue kritik adalah pekerjaan serius. justru mungkin tidak seharusnya dilakukan oleh 'those who can't make movies', karena yang kaya gini seperti yang bisa dilihat juga di message board sinemaindonesia cenderung mempermasalahkan hal2 nggak penting seperti boom bocor, kalibrasi warna yang kurang apalah. justru mungkin sebaiknya dilakukan oleh orang2 yang ambisi terbesarnya dalam hidup ini cuma menonton bulan tertusuk ilalang di wijaya 21 kursi j15.
p.s. gue nggak suka dengan pembaca2 yang bilang di message board si "wah makasih si, untung gue sebelum nonton baca si dulu, ngak jadi buang duit deh, thanks!" tidak dibodohi oleh review2 menyanjung ala leila s. tidak berarti terus langsung percaya aja review lain. itu sih jadi sama bodohnya. mungkin itu justru kenapa orang kadang2 takut dengan review2 sinemaindonesia, karena mereka malas mikir sendiri dan takut orang2 lain juga begitu. padahal kan nggak semuanya begitu juga.
jakarta, 20 something and 5
setuju man...jadi situ penulis SI juga ya? website favorit gua tuh hehehe
ReplyDeletetapi kalo misalnya udah sepikiran gimana tuh?
ReplyDeletecontohnya misalnya gua, gua sering nonton film2 yg direview dapet 'kancut' di SI... nah dari situ muncullah rasa 'sepikiran' & 'sependapat' antara gua dan SI....jadi misalnya SI udah review duluan dan film tersebut mendapat 'kancut' bikin gua mikir 2 kali juga untuk menonton tuh film soalnya gua udah percaya bgt ama reviewnya SI hehehe....