Sunday 14 January 2007

el nyinyo

Awan pecah

dan matahari memeras darah.



Pojok kota bergerak

menuju pasak:



Sebuah mal biru

dan rendevu orang-orang bisu.



Wednesday 10 January 2007

W.












di pulau itu langit tidak biru




dan matahari adalah cahaya lambat di pucuk karang.







warna yang tersisa hanya oranye rompi penyelamat




dan jambon tripang di pasir pucat.







terumbu pun terbelah dua




dan dermaga terserak bersama kaleng coca-cola.









di sumur hangat kau kail air putih tuak













dengan ember hitam dan seutas tambang.


angin diam


bakau seperti mengambang.


tengah hari pun turun di pusar kepala





membunuh bayang di tepi ohuna.




- untuk b, h, a, u, dan sepucuk ujung nusantara







































Tuesday 9 January 2007

at this tower of babel everyone speaks the same language



so he saw the tower in a city i remember as a
green park
bench, exploding white stars of seagulls’s droppings and a big brown
river slugging its way through the green green grass shining from the
sun like a lazy, mythically-sized snake.




and i saw it in a ruko complex overcrowded with shiatsu massage
parlours, korean corner stores and an angry girlfriend.




but i don’t care about the now.




i guess he never got his feet on the ground because his legs
are helicopter’s propellers.




and even though kiarostami speaks exclusively in parsi we understand
everything, unlike, you know, in that tower.




did she undertstand lights without sounds?




could she have dreams of a mute joe pernice?




i guess she could if she’s seen joe in cabo wabo.




could she count the syllabic length of a breakneck
speeeeeeeeeeeeeeeed




breakneck
speeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeed




?




could she work out the stressed and unstressed syllables in
a feet?




i like his language




it’s got that slinkiness




born out of just hanging out, kicking back




with friends who speak the same language as you.




maybe even a girl-




friend.




i will never have that anymore.




so i rely on my split copy of the cantos




fixing my stares just above the broken white of bowdlerized
subtitles




and a heart nowhere near as big as phar lap.




they keep a carbon copy of his body in a room just down the
street from where he lives




where the temperature is kept constant at a perfect 21 degrees.







Sunday 7 January 2007

decompose blog entry


it's an old day in a new year.



the sky's still blue and the clouds will steal the blueness later. still.



when the sky's not looking.



then the top of my head will be grey.



i will be su tung-p'o and scratch all my memories away.



and i just cut my nails last nite so the ends are all sharpee and later the skin just above my ears will sting.



when i pour a pearl of shokubutsu on my palm and rub it all over my hair.



receding hairline is the ultimate, undeniable, proof of getting old.



getting cold.



isn't it funny when you remember what you wanted dearly to do three
years ago and three years later, now, you realise you have done some of
the things, but maybe not as much as you, but hey i'm still adapting,
but that's no excuse, but what if i keep this sentence going for a
whole day, maybe i won't even be able to finish it.



i wanted to be a writer.



i used to write about seagulls, time in the disguise of a perfect
rolling wave/discarded keychain on a beach - lick it, it's salty,
tasty, lowell, jodhpurs, fat baristas's breasts.



i liked especially the fat baristas's breasts.



i was obsessed.



i'd sit in badde manors for like a day and just stare at them.



and they'd stare back at me.



and even now i don't know if by "they" I mean the fat baristas or their big great breasts.



so i went home thinking, fat baristas's breasts are great, but they're not important.



not like the sweet orange ends of a burning sam soe sigaret, the smell
of rotten banana leaves and whatever was wrapped in them, the
feeling i get when i see a middle-aged salesman walking slowly with his
heavy tennis bag, his body leaning forward and away from it to get a
little traction for his next step -



- not like this nothingville.



i came home for all that.



and of course they refuse to reveal any of their secrets to me.



not like the fat baristas's breasts, they were willing and generous.



so this is it,



i'm losing it,



and the world around me.













Thursday 4 January 2007

Riri Riza mengembalikan Piala Citranya? About fuckin’ time.

Pagi ini (4 Desember 2007) saya bangun dan keluar kamar, buka pintu rumah mencari koran langganan dan di tumpukan paling atas kali ini koran Seputar Indonesia, tajuk utamanya “27 Piala Citra Dikembalikan.” Saya tidak terkejut, kemarin sore Mumu Aloha, kritikus film yang ulasannya sering dimuat di layarperak.com dan mumualoha.blogspot.com mengundang saya, “Mik, jam tiga nanti di TIM ada konferensi pers menolak FFI 2006.” Selain itu saya juga membaca di majalah Tempo tadi malam, beberapa pemenang Piala Citra dari tahun 2004-2006 memang sudah berniat mengembalikan pialanya. Mereka keberatan Ekskul menang Film Terbaik tahun ini dan Siapapun Itu Nama Sebenarnya menang Sutradara Terbaik.

Pertama kali saya mendengar Ekskul menang saya juga tidak terkejut, karena sebelum itu Berbagi Suami sudah diumumkan bahkan tidak masuk nominasi Film Terbaik. Bukannya dia film yang bagus-bagus amat, tapi karena Heart – film yang bahkan tak tahu beda liver dan jantung – pun masuk nominasi, saya jadi tak berharap banyak pada jurinya. Malah tak berharap sama sekali.

Juri-juri itu antara lain WS Rendra, Noorca Massardi, dan Remy Silado. Ketuanya Rima Melati. Combined age 2.459.756 tahun.

Bahwa di antara lima nominasi film terbaik ada tiga film yang bercerita tentang kehidupan anak-anak – Denias, Heart, dan Ekskul itu sendiri – adalah hal yang menarik. Apa juri-juri ini berusaha menunjukkan bahwa di balik kulit keriput mereka masih menyala jiwa muda? Bahwa mereka masih tahu tentang apa yang gokil dan apa yang cupu buat penonton masa kini?

Waktu mengumumkan Ekskul menang dan Noorca Massardi menjelaskan bahwa Ekskul menang karena temanya, yang serius, yang berani melakukan kritik sosial, dan bahwa FFI ingin sedikit menyetir arah film-film Indonesia selanjutnya supaya lebih serius, lebih berani melakukan kritik sosial, pikiran saya kembali ke Heart lagi. Kritik sosial seserius apa yang mereka lihat di film itu? Dekonstruksi konstruksi sosial Barat yang menempatkan pusat rasa manusia di jantung bukan di hati?

Tapi, seperti saya bilang tadi, saya tidak terkejut. Bahwa orang-orang yang sekarang disebut oleh koran dan majalah sebagai “sineas-sineas muda” – majalah Tempo memberi contoh dalam kurung (Mira Lesmana, Riri Riza dan Nan T. Achnas) setelah julukan itu – terkejut dan mencak-mencak (baca cerita Harry Dagoe Suharyadi sutradara Pachinko marah-marah di majalah Tempo juga), itu yang mengejutkan saya. Saya terkejut mereka masih peduli dengan penilaian juri-juri yang sudah jelas seleranya begitu lain dengan mereka. Saya terkejut mereka masih menganggap FFI penting.

Buat saya kalau ada film baik yang menang FFI itu baru kejutan. Sama saja dengan penghargaan Oscar, misalnya. Andaikan saya Harmony Korine, sekarang bulan Maret tahun 1998 dan tahun lalu saya puas sekali akhirnya bisa menyelesaikan Gummo, memangnya saya akan buang-buang tenaga protes pada The Academy of Motion Picture Arts and Sciences kenapa yang menang Best Picture kok Titanic?

Tentu saya tak akan menolak kalau ternyata 6000 anggota Academy itu memenangkan film saya, saya jadi pasti diundang ikut after party Vanity Fair dan bebas semalaman menyedot kokain di bokong Kate Winslet. Tapi saya juga sadar hal ini tak mungkin terjadi. Saya tahu sejarah film-film apa saja dan seperti apa yang mereka sukai. Dances With Wolves, Braveheart, The English Patient. Film-film kolosal sentimentil yang sukses di bioskop. Sudah tentu 6000 orang itu akan lebih memilih kisah tragis tenggelamnya sebuah kapal pesiar legendaris daripada tenggelamnya peradaban Anytown, Redneck USA.

Patung pria kecil bersepuh emas itu tak ada artinya buat saya. Ya, kecuali untuk itu tadi, membukakan lebih banyak pintu after party dan mungkin juga akhirnya pintu studio-studio film besar. Tapi untuk itupun saya sudah punya Chloe Sevigny, sudahlah.

Jadi terus apa yang diinginkan Riri Riza, Rudy Soedjarwo, Tora Sudiro, Lux Aqua Sparkle, dkk. yang mengacungkan sebentar piala berbentuk gunungan itu kemudian meletakkannya hati-hati (kenapa, takut pecah ya? Kenapa tak dibuang saja sekalian?) di meja kaca rendah di Teater Kecil TIM kemarin sore?

Apakah, misalnya, seperti memenangkan Oscar, memenangkan Piala Citra bisa a) mendongkrak penjualan DVD (VCD) filmnya, syukur-syukur bisa diputar lagi di 21/XXI ala Crash, b) mendongkrak upah pekerja-pekerja di film itu di film-film mereka berikutnya (apakah mungkin upah Hanung Bramantyo menyutradarai Jomblo lebih rendah setelah dia menang Piala Citra untuk Sutradara Terbaik karena menyutradarai Brownies?), atau c) menambah satu lagi stiker penghargaan festival yang bisa ditempelkan di sampul DVD film itu (di samping stiker Tikrit Film Festival dan Mau-Mau Palm d’Or) supaya pekerjaan John Badalu menawarkannya ke sirkuit festival-festival film jadi lebih gampang lagi?

Atau mungkin tujuan protes ini lebih idealis dari yang saya kira? Mira Lesmana mengatakan bahwa kegeraman sineas-sineas muda ini bukan hanya terhadap FFI saja, tapi juga terhadap badan-badan birokrasi warisan Orde Baru lain seperti Lembaga Sensor Film dan Badan Pertimbangan Perfilman Negara (yang menyelenggarakan FFI), dan sudah dipendam lama. Kalau begitu mungkin juga sineas-sineas muda ini benar-benar merasa orang-orang tua ini memberangus mereka (atau paling tidak Pocong 1) dan karena itu perlu dilawan.

Walaupun aneh bahwa kemudian yang kelihatannya dijadikan alasan terpenting kenapa Ekskul tidak layak dapat Piala Citra Film terbaik adalah ilustrasi musiknya yang dianggap mencontek dari Tae Guk Gi sampai Narnia. Toh Ekskul tidak menang kategori itu (Rahayu Supanggah untuk Opera Jawa yang menang). Kenapa selain Hanung Bramantyo dan Joko Anwar yang dikutip majalah Tempo (“film Ekskul masih jauh untuk itu [jadi film terbaik]” – Joko Anwar), tidak ada sineas muda yang tegas bilang saja, “Ekskul sux!”?

Kelihatannya ini terjadi karena masalah orisinalitas, contek-menyontek, lebih gampang diukur daripada keutuhan estetika, bagus-tidaknya, sebuah film. Bagaimana membandingkan mutu Ekskul dengan Berbagi Suami dengan Opera Jawa dengan Denias dengan 9 Naga? Mana yang terbaik di antara mereka? Apa arti “terbaik” itu? Makanya mungkin sekarang pemrotes-pemrotes FFI itu mencoba menghindari menghujat mutu Ekskul (di depan publik), mencoba menghindari kalau-kalau nanti filmnya sendiri juga dihujat seperti sekarang mereka menghujat (mutu) Ekskul (di balik layar).

Padahal keorisinalitasan mereka bisa juga dengan gampang diserang. Bagaimana dengan pastiche dan daur ulang Oldplay yang dibikin Sore dan White Shoes & The Aksara Couples Company untuk Berbagi Suami? Pastiche six-degrees of separation di Three Colours Kieslowski yang dimampatkan jadi satu film di Berbagi Suami? Pastiche El Manik oleh El Manik di Berbagi Suami?

(Kenapa juga misalnya orang-orang yang kesal Berbagi Suami tidak masuk nominasi Film Terbaik, bukannya memberi alasan jelas kenapa film ini bagus, sering hanya menyebutkan bahwa film ini sudah pernah dapat penghargaan ini di festival itu, penghargaan itu di festival ini? Tak bisakah mereka berpikir sendiri?)

Dan pada akhirnya kita sampai pada pertanyaan yang paling bisa ditebak tapi juga paling menakutkan. Setelah misalnya para sineas muda itu diberi kursi di Dewan Juri FFI 2007, bisakah mereka menjamin jadi juri yang lebih baik daripada si Mastodon dan Burung-burung Kondornya itu? Bisakah mereka menjamin FFI 2007 tidak akan menjadi acara saling menepuk bahu dan menjilat pantat teman sendiri?

Saya jamin tidak bisa.

Sineas-sineas muda ini sering mencak-mencak kalau filmnya dikritik. Situs ulasan film sinema-indonesia.com dibenci karena kritiknya dianggap “tidak membangun”, padahal kesalahan mereka hanya berani berkata jujur. Sementara itu ulasan-ulasan di Kompas, Tempo (koran maupun majalah) dan media-media lain penuh dengan pujian hiperbolis yang kalau tidak disalin dari press-release biasanya disalin verbatim dari kecapan sutradara/bintang utama/pengarah jimmy jib waktu mereka nongkrong bareng wartawan-wartawan teman karibnya sehabis premiere.

Waktu Ekskul keluar, mana ada kritik tentangnya keluar di media massa dari sineas-sineas muda ini? Dalam percakapan pribadi mereka tentu banyak, tapi di depan publik? Sekarang begitu Ekskul dapat hadiah, baru mereka protes, harus rame-rame lagi. Betapa kekanak-kanakan.

Sineas-sineas muda ini memprotes Ekskul bukan karena dia film yang jelek, tapi karena dia film (yang mereka pikir - tapi tak pernah menjelaskan kenapa) jelek yang mendapat hadiah.

Kalau para sineas-sineas muda ini benar-benar khawatir dengan mutu dunia perfilman Indonesia, mereka seharusnya tidak perlu marah-marah pada FFI 2006 karena khawatir bahwa dewan juri yang tidak mutu akan memenangkan film yang tidak mutu dan selanjutnya akan mengompori lebih banyak lagi produser untuk membuat film yang tidak mutu. Mereka seharusnya marah-marah dulu pada diri mereka sendiri yang setiap tahun juga tetap saja (dengan beberapa pengecualian – 9 Naga, Hantu, Virgin) dan tanpa merasa bersalah mengeluarkan film-film tidak mutu. Kalau ada penonton Indonesia yang berani mengatakan mereka gagal, mereka seenaknya menyalahkan penonton itu karena belum mengerti mereka (Banyu Biru, Betina, Koper – oh, we understand alright, your movies fuckin’ suck. And you too.)

Beranikah Riri Riza marah pada dirinya sendiri karena Gie tidak sehebat yang dibayangkannya (misalnya di wawancara/advertorial dua halaman di majalah Tempo sebelum filmnya keluar)? Beranikah dia mengakui biopic adikaryanya itu jadinya begitu myopic? Beranikah dia mengakui bahwa Gie tahun lalu sebenarnya juga tidak berhak dicap sebagai film yang baik, apalagi terbaik?

Beranikah sineas-sineas muda itu mengakui di depan publik bahwa tahun 2005 itu memang tidak ada film Indonesia yang baik?

Tentu tidak.

Karena itu membutuhkan jauh lebih banyak keberanian daripada sekarang rame-rame menghujat Ekskul (dan berapa dari mereka yang sudah benar-benar menontonnya?) dan rame-rame mengembalikan piala yang sudah tidak ada atinya juga.