Thursday 4 January 2007

Riri Riza mengembalikan Piala Citranya? About fuckin’ time.

Pagi ini (4 Desember 2007) saya bangun dan keluar kamar, buka pintu rumah mencari koran langganan dan di tumpukan paling atas kali ini koran Seputar Indonesia, tajuk utamanya “27 Piala Citra Dikembalikan.” Saya tidak terkejut, kemarin sore Mumu Aloha, kritikus film yang ulasannya sering dimuat di layarperak.com dan mumualoha.blogspot.com mengundang saya, “Mik, jam tiga nanti di TIM ada konferensi pers menolak FFI 2006.” Selain itu saya juga membaca di majalah Tempo tadi malam, beberapa pemenang Piala Citra dari tahun 2004-2006 memang sudah berniat mengembalikan pialanya. Mereka keberatan Ekskul menang Film Terbaik tahun ini dan Siapapun Itu Nama Sebenarnya menang Sutradara Terbaik.

Pertama kali saya mendengar Ekskul menang saya juga tidak terkejut, karena sebelum itu Berbagi Suami sudah diumumkan bahkan tidak masuk nominasi Film Terbaik. Bukannya dia film yang bagus-bagus amat, tapi karena Heart – film yang bahkan tak tahu beda liver dan jantung – pun masuk nominasi, saya jadi tak berharap banyak pada jurinya. Malah tak berharap sama sekali.

Juri-juri itu antara lain WS Rendra, Noorca Massardi, dan Remy Silado. Ketuanya Rima Melati. Combined age 2.459.756 tahun.

Bahwa di antara lima nominasi film terbaik ada tiga film yang bercerita tentang kehidupan anak-anak – Denias, Heart, dan Ekskul itu sendiri – adalah hal yang menarik. Apa juri-juri ini berusaha menunjukkan bahwa di balik kulit keriput mereka masih menyala jiwa muda? Bahwa mereka masih tahu tentang apa yang gokil dan apa yang cupu buat penonton masa kini?

Waktu mengumumkan Ekskul menang dan Noorca Massardi menjelaskan bahwa Ekskul menang karena temanya, yang serius, yang berani melakukan kritik sosial, dan bahwa FFI ingin sedikit menyetir arah film-film Indonesia selanjutnya supaya lebih serius, lebih berani melakukan kritik sosial, pikiran saya kembali ke Heart lagi. Kritik sosial seserius apa yang mereka lihat di film itu? Dekonstruksi konstruksi sosial Barat yang menempatkan pusat rasa manusia di jantung bukan di hati?

Tapi, seperti saya bilang tadi, saya tidak terkejut. Bahwa orang-orang yang sekarang disebut oleh koran dan majalah sebagai “sineas-sineas muda” – majalah Tempo memberi contoh dalam kurung (Mira Lesmana, Riri Riza dan Nan T. Achnas) setelah julukan itu – terkejut dan mencak-mencak (baca cerita Harry Dagoe Suharyadi sutradara Pachinko marah-marah di majalah Tempo juga), itu yang mengejutkan saya. Saya terkejut mereka masih peduli dengan penilaian juri-juri yang sudah jelas seleranya begitu lain dengan mereka. Saya terkejut mereka masih menganggap FFI penting.

Buat saya kalau ada film baik yang menang FFI itu baru kejutan. Sama saja dengan penghargaan Oscar, misalnya. Andaikan saya Harmony Korine, sekarang bulan Maret tahun 1998 dan tahun lalu saya puas sekali akhirnya bisa menyelesaikan Gummo, memangnya saya akan buang-buang tenaga protes pada The Academy of Motion Picture Arts and Sciences kenapa yang menang Best Picture kok Titanic?

Tentu saya tak akan menolak kalau ternyata 6000 anggota Academy itu memenangkan film saya, saya jadi pasti diundang ikut after party Vanity Fair dan bebas semalaman menyedot kokain di bokong Kate Winslet. Tapi saya juga sadar hal ini tak mungkin terjadi. Saya tahu sejarah film-film apa saja dan seperti apa yang mereka sukai. Dances With Wolves, Braveheart, The English Patient. Film-film kolosal sentimentil yang sukses di bioskop. Sudah tentu 6000 orang itu akan lebih memilih kisah tragis tenggelamnya sebuah kapal pesiar legendaris daripada tenggelamnya peradaban Anytown, Redneck USA.

Patung pria kecil bersepuh emas itu tak ada artinya buat saya. Ya, kecuali untuk itu tadi, membukakan lebih banyak pintu after party dan mungkin juga akhirnya pintu studio-studio film besar. Tapi untuk itupun saya sudah punya Chloe Sevigny, sudahlah.

Jadi terus apa yang diinginkan Riri Riza, Rudy Soedjarwo, Tora Sudiro, Lux Aqua Sparkle, dkk. yang mengacungkan sebentar piala berbentuk gunungan itu kemudian meletakkannya hati-hati (kenapa, takut pecah ya? Kenapa tak dibuang saja sekalian?) di meja kaca rendah di Teater Kecil TIM kemarin sore?

Apakah, misalnya, seperti memenangkan Oscar, memenangkan Piala Citra bisa a) mendongkrak penjualan DVD (VCD) filmnya, syukur-syukur bisa diputar lagi di 21/XXI ala Crash, b) mendongkrak upah pekerja-pekerja di film itu di film-film mereka berikutnya (apakah mungkin upah Hanung Bramantyo menyutradarai Jomblo lebih rendah setelah dia menang Piala Citra untuk Sutradara Terbaik karena menyutradarai Brownies?), atau c) menambah satu lagi stiker penghargaan festival yang bisa ditempelkan di sampul DVD film itu (di samping stiker Tikrit Film Festival dan Mau-Mau Palm d’Or) supaya pekerjaan John Badalu menawarkannya ke sirkuit festival-festival film jadi lebih gampang lagi?

Atau mungkin tujuan protes ini lebih idealis dari yang saya kira? Mira Lesmana mengatakan bahwa kegeraman sineas-sineas muda ini bukan hanya terhadap FFI saja, tapi juga terhadap badan-badan birokrasi warisan Orde Baru lain seperti Lembaga Sensor Film dan Badan Pertimbangan Perfilman Negara (yang menyelenggarakan FFI), dan sudah dipendam lama. Kalau begitu mungkin juga sineas-sineas muda ini benar-benar merasa orang-orang tua ini memberangus mereka (atau paling tidak Pocong 1) dan karena itu perlu dilawan.

Walaupun aneh bahwa kemudian yang kelihatannya dijadikan alasan terpenting kenapa Ekskul tidak layak dapat Piala Citra Film terbaik adalah ilustrasi musiknya yang dianggap mencontek dari Tae Guk Gi sampai Narnia. Toh Ekskul tidak menang kategori itu (Rahayu Supanggah untuk Opera Jawa yang menang). Kenapa selain Hanung Bramantyo dan Joko Anwar yang dikutip majalah Tempo (“film Ekskul masih jauh untuk itu [jadi film terbaik]” – Joko Anwar), tidak ada sineas muda yang tegas bilang saja, “Ekskul sux!”?

Kelihatannya ini terjadi karena masalah orisinalitas, contek-menyontek, lebih gampang diukur daripada keutuhan estetika, bagus-tidaknya, sebuah film. Bagaimana membandingkan mutu Ekskul dengan Berbagi Suami dengan Opera Jawa dengan Denias dengan 9 Naga? Mana yang terbaik di antara mereka? Apa arti “terbaik” itu? Makanya mungkin sekarang pemrotes-pemrotes FFI itu mencoba menghindari menghujat mutu Ekskul (di depan publik), mencoba menghindari kalau-kalau nanti filmnya sendiri juga dihujat seperti sekarang mereka menghujat (mutu) Ekskul (di balik layar).

Padahal keorisinalitasan mereka bisa juga dengan gampang diserang. Bagaimana dengan pastiche dan daur ulang Oldplay yang dibikin Sore dan White Shoes & The Aksara Couples Company untuk Berbagi Suami? Pastiche six-degrees of separation di Three Colours Kieslowski yang dimampatkan jadi satu film di Berbagi Suami? Pastiche El Manik oleh El Manik di Berbagi Suami?

(Kenapa juga misalnya orang-orang yang kesal Berbagi Suami tidak masuk nominasi Film Terbaik, bukannya memberi alasan jelas kenapa film ini bagus, sering hanya menyebutkan bahwa film ini sudah pernah dapat penghargaan ini di festival itu, penghargaan itu di festival ini? Tak bisakah mereka berpikir sendiri?)

Dan pada akhirnya kita sampai pada pertanyaan yang paling bisa ditebak tapi juga paling menakutkan. Setelah misalnya para sineas muda itu diberi kursi di Dewan Juri FFI 2007, bisakah mereka menjamin jadi juri yang lebih baik daripada si Mastodon dan Burung-burung Kondornya itu? Bisakah mereka menjamin FFI 2007 tidak akan menjadi acara saling menepuk bahu dan menjilat pantat teman sendiri?

Saya jamin tidak bisa.

Sineas-sineas muda ini sering mencak-mencak kalau filmnya dikritik. Situs ulasan film sinema-indonesia.com dibenci karena kritiknya dianggap “tidak membangun”, padahal kesalahan mereka hanya berani berkata jujur. Sementara itu ulasan-ulasan di Kompas, Tempo (koran maupun majalah) dan media-media lain penuh dengan pujian hiperbolis yang kalau tidak disalin dari press-release biasanya disalin verbatim dari kecapan sutradara/bintang utama/pengarah jimmy jib waktu mereka nongkrong bareng wartawan-wartawan teman karibnya sehabis premiere.

Waktu Ekskul keluar, mana ada kritik tentangnya keluar di media massa dari sineas-sineas muda ini? Dalam percakapan pribadi mereka tentu banyak, tapi di depan publik? Sekarang begitu Ekskul dapat hadiah, baru mereka protes, harus rame-rame lagi. Betapa kekanak-kanakan.

Sineas-sineas muda ini memprotes Ekskul bukan karena dia film yang jelek, tapi karena dia film (yang mereka pikir - tapi tak pernah menjelaskan kenapa) jelek yang mendapat hadiah.

Kalau para sineas-sineas muda ini benar-benar khawatir dengan mutu dunia perfilman Indonesia, mereka seharusnya tidak perlu marah-marah pada FFI 2006 karena khawatir bahwa dewan juri yang tidak mutu akan memenangkan film yang tidak mutu dan selanjutnya akan mengompori lebih banyak lagi produser untuk membuat film yang tidak mutu. Mereka seharusnya marah-marah dulu pada diri mereka sendiri yang setiap tahun juga tetap saja (dengan beberapa pengecualian – 9 Naga, Hantu, Virgin) dan tanpa merasa bersalah mengeluarkan film-film tidak mutu. Kalau ada penonton Indonesia yang berani mengatakan mereka gagal, mereka seenaknya menyalahkan penonton itu karena belum mengerti mereka (Banyu Biru, Betina, Koper – oh, we understand alright, your movies fuckin’ suck. And you too.)

Beranikah Riri Riza marah pada dirinya sendiri karena Gie tidak sehebat yang dibayangkannya (misalnya di wawancara/advertorial dua halaman di majalah Tempo sebelum filmnya keluar)? Beranikah dia mengakui biopic adikaryanya itu jadinya begitu myopic? Beranikah dia mengakui bahwa Gie tahun lalu sebenarnya juga tidak berhak dicap sebagai film yang baik, apalagi terbaik?

Beranikah sineas-sineas muda itu mengakui di depan publik bahwa tahun 2005 itu memang tidak ada film Indonesia yang baik?

Tentu tidak.

Karena itu membutuhkan jauh lebih banyak keberanian daripada sekarang rame-rame menghujat Ekskul (dan berapa dari mereka yang sudah benar-benar menontonnya?) dan rame-rame mengembalikan piala yang sudah tidak ada atinya juga.

5 comments:

  1. kok di mana2 sama aja ya. awards buat film pasti selalu fucked up. mungkin film seharusnya ngga boleh dilomba-keun.

    ReplyDelete
  2. sungguh romantis alasan pengembaliannya pialanya (itu kata temanku di yogya)

    ReplyDelete
  3. mestinya film dipilih secara demokratis saja, oleh para penonton. kita buat award show "film rakyat indonesia". Nah ini terlepas film itu 'bagus' atau hasil jiplakan atau apa, yang penting berguna buat sang penonton atau penonton entah kenapa suka sama film tersebut. Menarik juga untuk tahu film2 seperti apa yg sebenarnya diminati rakyat indonesia :). Saya suka titanic tapi ko saya malah tidak tahu atau lupa film itu menang oscar? ;p. salam kenal.

    ReplyDelete
  4. baru baca artikel ini. keren. harusnya dimuat di majalah.

    ReplyDelete
  5. Gie, pendapat saya, film yang gagal. Secara idealisme rasanya jauh dari biopik Soe Hok Gie. DAlam film dokumenter Gie oleh televisi Australia diperlihatkan sosok Gie yang vokal. Tapi di film Gie? Mahasiswa demo aja Gie malah melengos kabur. Saya khawatir justru penonton film Gie yang belum pernah baca tulisan SOe Hok Gie jadi mis-intrepretasi terhadap sosok Gie asli. Nanti Gie disangka pengecut, cuma demen sama cewek tipe Wulan G, Happy S, dan Sita RSD. Secar Industri juga Gie, disebutkan Mas Riri dalam interview dengan Playboy, bahwa hingga saat wawancara belum juga balik modal. Hhmmm, Gie film terbaik? Saya pikir kok agak emosional ya... It's just my opinion heheh

    ReplyDelete