Monday, 7 April 2008
toh tidak apa apa bukan hidup semakin lama semakin tidak berarti
—toh tidak apa apa bukan
kalau hidup sekedar pilihan
menuang bir—erdinger, duvel
75 ribu sebotol—
dengan busa
atau kering saja
kemudian, sebentar
aku mau ke toilet dulu
dan di sana menyeka air mata
di depan cermin yang retak
tepat di tengahnya
memang, jadi semakin susah
fokus bekerja
hati selalu berdebar
ingin lagi bercanda
bersenda gurau
dengan teman
—dan bayangan fantastis
tentang diri sendiri
sampai—menengok jam tangan tetangga
jarum menunjuk tiga
waktunya pulang
atau sekedar istirahat
dari kesepian
yang semakin lama semakin
menyayat
toh tidak apa apa bukan
—hidup semakin lama semakin tidak berarti
tanpa canda tawa yang dipertahankan
mati matian sepanjang hari—sepanjang malam
dan pagi pun—kata kata yang berusaha diledakkan
di angkasa di antara kita
selain itu hanya perjalanan pulang
di taksi, tarif lama, atau baru, apalah bedanya
langit jakarta yang ceria, kubikel kantor yang masih menyala
entah lembur, entah alpa dimatikan, apalah bedanya
itupun kadang kadang, hati masih menyalak
jangan pulang!, dan taksi pun dibelokkan
ke apartemen teman di jantung kota
percakapan percakapan yang makin menyesatkan
dalam asyik asap rokok, kadang kadang ganja
stok darurat—setiap hari selalu darurat—
perdebatan tentang atheisme dengan mata merah menyala
sendu di sudut sudutnya, atau mungkin
mengantuk saja
selanjutnya hanya menanti siapa yang bakal pertama berhenti
menuang chivas ke dalam gelas berisi kopi
—suam suam kuku—itupun setengah hati
sebelum kesopanan dan tata krama
menuntun jari menekan angka angka
yang sudah dihapal di luar kepala
0217941234, ya blue bird saja
ke pinggir jakarta—dan lima belas menit kemudian
masih juga main tebak tebakan, siapa di antara kita berdua
yang sedang pura pura tidak mendengar
suara kunci mobil dibentur benturkan
di pagar besi di luar
Labels:
airlangga,
atheisme,
bir,
bluebird,
chivasregal,
ciledug,
cimski,
dplace,
duvel,
erdinger,
greatsadness,
jakarta,
kebayoranbaru,
kopi,
sadgreatness,
taksi,
tariflama,
teman
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
sepertinya yang kau punya tidak lebih buruk
ReplyDeletedari makan sendirian
mie tarik yang rasanya tak karuan
berkuah kare ayam asal-asalan
di food court senayan
...city
lepas nonton bersama seorang perempuan
yang tidak begitu dekat
sambil dalam hati kau berkata;
"jadilah temanku menyeruput susu rasa kopi, menonton kartun konyol, mencari buku legenda tom sawyer atau sekadar mendengar lagu remix ecek-ecek."
setidaknya pangsit gorengnya bisa kutelan
bukankah memang hanya seperti ini
ReplyDeletehidup yang normal
benar-benar hanya seperti ini:
membeli seplastik jeruk cina, pir hijau
apel new zealand hanya untuk merasa
telah menjalani hidup yang sehat
sampai suatu malam mendapati
buah-buah itu membusuk di sudut kamar
sebelum tersentuh satu biji pun
dan tahu: hidup yang normal
memang hanya seperti itu
pujangga mikael, dasyat...coretan yang dalam seperti sayatan silet pada lengan, pada lukanya menyembur makna, membunuh waktu dalam untaian langkah hidup, berat dan biasa dalam normal. lemparkan saja semua karat dalam bongkah kepalamu bro....mungkin hidup juga sebuah paksaan.
ReplyDelete