Cerita ini terjadi waktu dia masih muda. 32 tahun. Waktu itu dia bekerja di sebuah perusahaan minyak sebagai seorang géologis, lulusan ITB dengan IP 2. Waktu magang pas semester terakhir di perusahaan yang sama, direktur HRD di situ, seorang ibu setengah baya dengan gaun bunga dan sabuk besar tinggi di atas pusar, memergokinya membaca Olenka. Ibu itu hanya bilang, hati-hati nak, buku itu hanya akan membuatmu putus asa. Dua bulan kemudian dia mendapat surat panggilan untuk bekerja di perusahaan itu sebagai karyawan tetap dengan gaji di atas rata-rata.
Malam itu dia belum pulang. Biasa. Buatnya, siang adalah lembur, malam hari baru dia benar-benar bekerja. Menulis esei untuk koran, puisi untuk disimpan di blog-blog yang cukup ditunggu beberapa teman. Namanya mulai terkenal sebagai penulis esei yang judes, pembawa suara anak muda. Koran-koran setengah terpaksa mulai memuatnya.
Di sebuah software untuk chatting yang waktu itu populer dia menyapa ibu-ibu HRD tadi yang sekarang jadi semacam sahabatnya. Halo, masih di sana? (Ruangan Ibu itu kira-kira 320 meter dari kubikelnya—menghitung bélokan-bélokan menghindari kubikel-kubikel lain, 260 meter kalau ia tarik garis lurus saja.) Ya, kenapa nak? Mau baca puisi saya? Sudah saya kirim ke Koran Témpo, akhirnya. Ya, boléh saja.
-
Sudah kubaca. Aku lebih suka puisimu yang dulu. Yang ini membuat keningku berkerut dan aku kesulitan membacanya dengan hati.
Hahahahahaha, dia tertawa, entah dalam hati atau menggetarkan kubikel sebelahnya. Membuat keningku berkerut dan aku kesulitan membacanya dengan hati. Rasanya, seumur hidup itu pula tuduhannya pada dunia.
Dia mengirimkan sebuah émotikon tertawa. Di sebelah monitornya, Olenka yang sedang, belum juga selesai ia baca.
No comments:
Post a Comment