Sunday 1 July 2007

keangkuhan dan prasangka

tiga tahun yang lalu saya mencoba untuk lebih banyak membaca sastra indonesia. saya kira, kalau memang saya akan tinggal di negara ini selama hidup saya, mungkin sudah waktunya saya pernah membaca ronggeng dukuh paruk, subagio sastrowardoyo, atau apa ya, ya saya juga tidak tahu apa lagi. yang jelas waktu itu saya bahkan memaksakan diri membaca catatan pinggir.

saya juga langganan koran minggu, dan di tempat kerja saya yang baru saya tinggalkan beberapa minggu yang lalu setiap senin saya pergi ke perpustakaan dan menggunting lembaran-lembaran sastra di koran-koran minggu lain yang saya, walaupun seberdedikasi apapun, tetap tak sudi berlangganan. pertama-tama saya gunting semuanya, cerpen, puisi, esei, tapi lama-lama saya hanya gunting yang kira-kira saya tertarik. di rumah semua guntingan-guntingan itu saya tempel di buku gambar ukuran besar merek kiky. pertama-tama saya tempel semuanya asal muat, kalau sebuah esei terlalu panjang saya potong hati-hati dan sisanya saya tempel di sebelahnya atau pas di baliknya biar tidak merusak aliran argumennya. saya menghormati penulisnya. lama-lama esei-esei itu, puisi-puisi itu, cerpen-cerpen itu, saya potong-potong sesuka saya, kemudian saya tempel-tempel sesuka saya, cerpen itu bersambung dengan esei itu bersambung dengan puisi itu bersambung dengan catatan pinggir senin itu bersambung dengan iklan phone sex lampu merah.

ada kenangan-kenangan manis, seperti sedimen senja, novel sn ratmana—saya juga mulai pergi ke gramedia—tentang guru sekolah tua di anytown, jawa tengah, yang ketahuan beraffair dengan guru sekolah yang sama yang kebetulan juga isteri kepala sekolah sekolah yang sama itu setelah si isteri itu meninggal dan meninggalkan surat-suratnya untuknya. novel itu berakhir dengan si guru ini ketiduran di bus antar kota yang mengantarnya pulang dari reunian di jakarta; dia telah menulis surat-surat bekas kekasihnya yang suaminya masih hidup tapi untung sudah tua jadi sudah pensiun dari sekolahnya tadi menjadi novel epistoler dan tangannya pegal menandatanganinya untuk bekas murid-muridnya di sebuah gedung pemerintah yang disewakan menjadi tempat reunian tadi.

novel itu tidak membuat saya berpikir, kenapa harus begitu sih, norak banget.

selain itu juga ada cantik itu luka, yang jorok dan lucu, tidak seperti saman dan larung dan buku-buku djenar maesa ayu yang jorok dan lugu. o ya, juga ada jakarta kafe yang bersampul ala chicklit dan dipajang di rak chicklit tapi di tangan kanannya bergoyang payung / tangan kirinya mengibaskan tangis (this is how deep i've got into this indo lit thing). juga subagio sastrowardoyo sebelum dia terobsesi dengan kematian, toety heraty sebelum dia menjadi filsuf,f rahardi (ya, tanpa titik setelah f) kalau tidak sedang protes, rita oetoro dan potongan-potongan dialog casablancanya, goenawan mohamad misalkan dia tidak pernah ke sarajevo, srintil dan rasus, pramoedya dalam bahasa aslinya, ya banyak juga. tapi saya juga baru sadar, saya hanya suka orang-orang tua. (toety heraty is like, 74 years old!)

mungkin hanya ada satu cerpen di kompas minggu yang membuat saya agak tidak marah. koh su karya puthut ea. tentang nasi goreng koh su yang sudah hilang resepnya dan sekarang dicari-cari. itupun sebelum akhirnya ternyata si koh su dan resepnya hilang karena deng! deng! mereka pki.

o ya dan saya harus menyebutkan rita utari. girl, mentioning death cab for cutie in a sob story about you and your boyfriend that's really only, literally, a shadow of your present self might fool hasif amini into thinking that you're like cool and stuff, but not me. not anyone else. in fact, mentioning death cab for cutie in anything is never cool.

unless you're an o.c. whore.

karena itu kemarin setelah membaca sajak joko pinurbo di kompas tentang mata yang sajaknya atau sajak yang matanya atau apalah who gives a fuck dan satu lagi cerpen karangan seseorang yang aktif di komunitas ilalang lebah, saya memutuskan untuk tidak lagi membaca sastra indonesia.

karena saya capek berpikir, kenapa harus begini sih, norak banget.







2 comments:

  1. novel terakhir yang tidak membuat saya berpikir kenapa harus begitu sih adalah bulan susut karya ismet fanani (penerbit kompas, mungkin 2005). coba deh cari di gramedia klo mgk msh ada, untuk mengobati keputusaanmu. sajak joko pinurbo tentang mata yang minta dibaca oleh buku itu ada di tempo, bukan kompas (ah, tapi memang apa bedanya juga ya mik, secara hasif dan nirwan-1 kan satu sarung hihihi). aku jg rada-rada nek bacanya, itu penyair main-mainnya makin gak mutu saja. terlalu asik main-main dan terlalu asik dipuji terus jadinya gak sadar klo main-mainnya udah gak lucu lagi.

    ReplyDelete
  2. seandainya aku memiliki penyakit sepertimu (yg suka terobsesi dengan sesuatu dan melakukannya secara kaffah), aku tak akan membaca apa pun juga. aku justru menikmati keputusasaan itu. itu berarti, aku bisa mengumpat dan betapa asyiknya mengumpat itu. (ngomong-omong, kamu tahu artinya kaffah?)

    ReplyDelete